Welcome To Library Corner

oleh
Itmanudin , SS
(pustakawan STAIN Salatiga)



A. Pendahuluan
Dalam dua dasa warsa terakhir, teknologi berkembang begitu cepat. Banyak aspek kehidupan akhirnya berubah, termasuk perubahan perilaku masyarakat karena adanya teknologi informasi, dimulai dengan penemuan komputer pribadi di era tahun 1980an dan mulai banyak digunakan pada dasa warsa terakhir abad 20 benar-benar telah menjadi pola kerja, pola kehidupan dan berbagai aspek lain seperti penyimpanan data, penyediaan data serta penyajian data. Hal ini harus disadari oleh pustakawan untuk mengadaptasi perubahan ini.
Dalam prakteknya teknologi informasi sangat membantu semua aspek pekerjaan pustakawan di perpustakaan. Dari mulai kegiatan pengadaan bahan pustaka, pengolahan, sirkulasi, sistem temu balik informasi dan lain sebagainya. Kegiatan ini dikenal dalam perpustakaan sebagai kegiatan organisasi informasi.
Menurut Yuyu Yulia (2008:1.2) Organisasi informasi merupakan pelbagai kegiatan yang bertujuan supaya setiap bahan pustaka dalam koleksi perpustakaan dapat :
1. Diketahui tempat fisiknya melalui nomor panggil
Disini peran katalog sebagai wakil dokumen dibutuhkan oleh pengunjung perpustakaan untuk mengetahui keberadaan sebuah koleksi dan juga temu kembali informasi.
2. Dikenali melalui sajian ringkas dari bahan pustaka yang disebut dengan cantuman bibliografis.
Disini peran cantuman yang ditempelkan pada dokumen fisik buku yang berada dijajaran rak atau disajikan di rak berperan sekali dalam menemukan kembali informasi yang diinginkan
Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa teknologi informasi sangat diperlukan untuk mempercepat proses pengolahan informasi dan juga temu kembali informasi untuk memudahkan petugas dan pengunjung perpustakaan, baik ketika menjajarkan koleksi di rak maupun pada saat temu kembali informasi.


B. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui sejauhmana peranan teknologi informasi dalam kegiatan organisasi informasi di perpustakaan.
Hal ini sangat berguna dalam pengembangan kegiatan organisasi informasi, karena hasil dari kegiatan ini sangat diperlukan oleh pengunjung perpustakaan dan juga petugas perpustakaan dalam temu kembali informasi.

C. Kerangka dasar sistem informasi
Untuk memulai penulisan makalah ini, penulis ingin menyampaikan kerangka dasar sistem informasi sebagai acuan dasar sistem informasi.
Perpustakaan merupakan sumber informasi atau gudang pengetahuan, untuk itu perpustakaan dapat dikatakan sebagai suatu sistem informasi dalam konsep yang mendasar. Kerangka dasar sistem informasi, merupakan suatu rangkaian sistem informasi, tanpa memperhatikan tingkat mekanisme atau bentuk informasi fisik yang dikelola. Di samping itu konsep ini juga sekaligus menerangkan proses mengorganisasikan informasi dari mulai informasi itu diperoleh sampai pada informasi tersebut disajikan kepada pemustaka.
Diagram sistem informasi tersebut di atas merupakan modifikasi diagram the information work (Doyle, 1975:19). Kerangka dasar sistem ini memberikan garis besar sistem informasi sederhana, serta menunjukkan bagian utama yang sama pada lembaga simpan dan temu kembali informasi termasuk di dalamnya perpustakaan, kearsipan, pusat dokumentasi dan informasi lain
Dari kerangka dasar tersebut di atas, penulis menyimpulkan bahwa untuk mempercepat pengideksan atau indexing dan juga temu kembali informasi, peran teknologi informasi dalam organisasi informasi tidak terelakkan lagi.

D. Peranan teknologi informasi dalam proses organisasi informasi di perpustakaan
Berpijak dari kerangka dasar sistem informasi tersebut diatas, penulis ingin menyampaikan bagaimana proses indexing atau pengindeksan yang merupakan kegiatan organisasi informasi dengan menggunakan teknologi informasi yang kemudian pengindeksan ini digunakan sebagai sistem temu kembali informasi dengan menggunakan teknologi informasi (katalog terpasang) atau opac (online public acces catalog)
1. Indexing
Indeks adalah sebuah daftar yang sistematis, mengandung istilah atau frasa (menyatakan pengarang, judul, konsep dan sebagainya) yang dilengkapi dengan penunjuk ke isi satu atau serangkaian dokumen, ke lokasi dimana istilah atau frasa tersebut dapat ditemukan. Indeks dan pengindeksan biasanya dikaitkan dengan pembuatan katalog dan klasifikasi (wiji Suwarno, 2010:97)
Menurut pendit (2008), pengindeksan berbeda dengan katalogisasi dan klasifikasi yang lebih berkonsentrasi pada “tentang apa”nya (subjek) suatu dokumen. Maka pengindeksan lebih terkonsentrasi pada ekstraksi atau pengambilan kata atau istilah yang adan didalam dokumen dihalaman tertentu, lalu menempatkannya dalam daftar indeks secara terstruktur. Struktur inilah yang memungkinkan sebuah buku “merujuk” pembacanya ke bagian-bagian teks yang relevan untuk keperluannya.

Terkait dengan indeksing, peranan komputer sebagai bagian dari kemajuan teknologi informasi sangat diperlukan dalam hal indeksing atau pengindeksan. Dalam makalah ini penulis hanya akan menyampaikan indeksing dengan menggunakan teknologi komputer, dan tidak akan membahas pengindeksan secara manual.
Sewaktu belum ada komputer, pengideksan mutlak menjadi urusan manusia, tidak ada campur tangan mesin. ketika mesin komputer hadir, pengideksan dibagi menjadi dua cara : intelektual dan mekanikal

Intelektual artinya kegiatan menganalisis dan penerjemahan (translasi) dokumen yang akan di indeks, mencakup kegiatan mengidentifikasi dan memilih konsep-konsep penting yang tercakup dalam sebuah dokumen.
Mekanikal artinya kegiatan yang mencakup pengurutan menurut abjad dan pembuatan format entri indeks.

Jika komputer sudah bisa digunakan dengan baik untuk kegiatan intelektual ataupun mekanikal, itu artinya bahwa komputer sudah dapat melakukan pengindeksan secara otomatis, tetapi kalau hanya bisa digunakan untuk intelektualnya saja, maka disebut pengindeksan yang diotomasikan.

2. Temu kembali informasi
Dengan sistem indeksing menggunakan teknologi komputer, maka sistem temu kembali informasi menurut wiji suwarno (2010 : 99) dapat dilakukan komputer dengan beberapa cara :
a. Sequential
Proses pencarian atau pencocokan istilah dengan cara berurutan, misalnya mencari sebuah kata, maka komputer akan berjalan mengecek setiap istilah mulai dari istilah pertama daftar sampai bagian terakhir daftar yang masih sungsang atau acak.

b. Alphabetical Chain
Artinya mata rantai – alfabet, prinsipnya sama dengan cara menggunakan kamus mislanya, kita mencari arti kata programming di kamus inggris indonesia, tentu kita akan secara bodoh mencari dari mulai huruf A, kemudian loncat ke huruf P , bahkan juga terkadang kita langsung menuju kata-kata yang dimulai dengan “prog” dan melewatkan sebelumnya.
Keuntungan : lebih cepat dari cara sequential (berurutan)
Kelemahan : jika daftar indeks memiliki banyak kata yang serupa, maka terjadi Densely Populated Area (wilayah dalam daftar indeks yang padat berisi istilah serupa). Jika komputerr harus mencari wilayah ini maka programnya harus dibuat agar bisa bolak-balik diwilayah ini sampai semua kemungkinan telah dicoba.

c. Binary Search
Untuk mempercepat pencarian indeks, komputer perlu mengurangi langkah penelusuran, salah satu caranya adalah dengan binary search yaitu membagi 2 daftar setiap kali melakukan pencarian dan mencari disetengah daftar dan proses pembagian ini dapat berlangsung berkali-kali.
Problem : keharusan pembuatan program yang dapat melakukan penghitungan mathematic untuk menentuka titik tengah dari sebuah daftar. Penghitungan ini dilakukan setiap kali komputer diperintah oleh pemakai untuk mencari istilah dalam daftar indeks dalam komputer.

d. Binary search tree
Sebuah cara komputer untuk menambah kecepatan dengan cara meniru tabiat pohon. Sebuah pohon memiliki cabang dan setiap cabang bercabang lagi, demikian seterusnya sampai ke puncak pohon dengan perhitungan matematis maka dapat dibuat sebauh berkas sungsang yang setiap istilah indeksnya mengandung nilai, sedemikian rupa sehingga selalu ada 2 cabang untuk setiap istilah, sebenarnya sama dengan membagi 2 seperti pada sistem binary search tetapi kali ini komputer tidak perlu lagi melakukan pembagian dan perhitungan titik dengan titik setiap kali melakukan pencarian.

e. Balance tree
Cara untuk mempercepat proses dengan cara setiap istilah indeks diberi nilai sedemikian rupa sehingga cabangnya tidak hanya 2 tetapi bisa berapa saja. Hal ini mempengaruhi tidak hanya kecepatan pencarian tetapi juga perngorganisasian berkas sungsang secara keseluruhan.

Pada dasarnnya komputer dapat melakukan dua hal yang juga dilakukan sebelum ada komputer yaitu derivative indexing dan assignment indexing. Adapun penjelasanya adalah sebagai berikut :
a) derivative indexing merupakan istilah indeks diambil langsung dari teks dokumen, disebut juga dengan synonim for keyword indexing karena indeks diambil langsung dari kata kunci dan tidak ada daftar kosa kata sebagai acuannya (atau dikalangan teknisi biasa disebut ‘tidak ada controlled vocabularya-nya, atau disebut juga free indexing
b) assignment indexing merupakan indeks yang diberikan dari luar. Istilah Ini berasal dari control vocabulary disebut dengan descriptor.
Semua lingkaran di atas, terjadi pada ingkungan digital yang berbentuk teks atau tulisan. Dalam jenis yang lain misalnya gambar atau audio, maka prinsip-prinsipnya mungkin sama

E. Simpulan
Dari penyampaian penulis di atas dapat diambil keseimpulan bahwa :
1. Dalam proses indexing yang mengahasilkan dua output yaitu jajaran koleksi di rak dan juga wakil dari dokumen atau katalog, yang keduanya berfungsi untuk temu kembali informasi telah digantikan fungsinya oleh komputer agar lebih cepat tepat dan efesien
2. Adapun standar yang digunakan dalam kegiatan pengkatalogan manual adalah AACR 1 dan standar yang digunakan dalam kegiatan pengkatalogan elektronis menngunakan AACR II
3. Pada dasarnya Komputer melaksanakan proses indeksing sama dengan indeksing yang dilakukan manusia, hanya saja ini dilakukan didalam komputer karena yang diindeks adalah data yang ada dalam komputer


Daftar Pustaka

Pendit, Putu Laxman. 2007. Perpustakaan Digital : perspektif perguruan tinggi indonesia. Jakarta : Sagung Seto

Suwarno, Wiji. 2010. Pengetahuan Dasar Kepustakaan : sisi penting perpustakaan dan pustakawan, Jakarta : Ghalia Indonesia

Yulia, Yuyu. 2007. Pengolahan bahan pustaka, Jakarta : Universitas terbuka

Oleh.
Daryono, S.Sos
(pustakawan UNS Surakarta)

1. Pendahuluan
Perkembangan teknologi informasi dewasa ini menuntut terhadap Joint Steering Committee for Revision AACR2 dan Committee of Princilpes for AACR2 untuk melakukan pengembangan sistem pengatalogan sesuai dengan perkembangan yang ada. Dari tuntutan tersebut tepatnya pada bulan April 2005 JSCR dan CoP mengadakan pertemuan di hicago untuk membicakan cara terbaik untuk mengembangkan kode pengatalogan yang baru untuk menggantikan AACR2. AACR yang terbit pada tahun 1978 dan telah mengalami beberapa kali revisi yang sampai saat sekarang masih digunakan sebagai standar pengatalogan sebagian besar perpustakaan di dunia telah mengalami banyak kritik, karena AACR menjadi kode pengatogan yang terlalu komplek, terlalu kuno, karena berlandaskan konsep-konsep dari zaman katalog kartu, dan terlalu sulit untuk diterapkan untuk sumber-sumber digital yang baru.
Untuk memberikan respon atau umpan balik terhadap kritikan atau masukan dari kalangan perpustakaan atau lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam penyusunan peraturan pengatalogan, maka diputuskan bahwa diperlukannya kode baru untuk menggantikan AACR2 dengan pendekatan yang berbeda dari yang ada pada draft Part 1. Untuk menandai haluan baru tersebut sepakat untuk memberikan working title yaitu RDA ( Resource Description and Access). RDA ini akan menjadi standar baru untuk deskripsi sumber dan akses yang dirancang untuk kepentingan dunia digital, RDA akan menyajikan suatu kerangka yang fleksibel untuk menhadapi tantangan mendeskripsikan sumber-sumber digital, data yang lebih mudah disesuaikan dengan struktur pangkalan data yang lebih efisien dan kompatibel dengan cantuman yang telah ada dalam katalog perpustakaan online, karena landasn RDA ada di dalam prinsip-prinsip yang ada dalam AACR.
RDA dibangun atas landasan AACR dan akan merupakan suatu perangkat petunjuk dan instruksi untuk deskripsi (resource description) dan akses yang mencakup semua jenis isi dan media dan dirancang untuk dunia digital. RDA akan menjadi suatu kerangka yang lebih fleksibel untuk menhadapi tantangan mendeskripsikan sumber-sumber digital. Standar baru ini dikembangkan terutama untuk perpustakaan, namun JSC berkonsultasi dengan komunitas lain (arsip, musium, penerbit, pendidik, pedagang buku, vendor Integrated Library Systems) supaya RDA searah dengan standar metadata yang digunakan di komunitas tersebut.
Saat ini IFLA sedang merevisi Paris Principles tahun 1961, jadi RDA dan revisi berlangsung pada waktu yang sama. RDA dan revisi Paris Principles merupakan dua projek yang terpisah, namun apa yang sedang dikerjakan dilakukan dengan saling memperhatikan, sebab kedua projek masih terkait. Antara JSC dan IFLA memang terdapat hubungan kerjasama formal, yang diperkuat oleh struktur keanggotaan dalam kelompok kerja masing-masing. Misalnya: anggota JSC berpartisipasi dalam rangkaian pertemuan pertama para pakar pengatalogan dan masih tetap berpartisipasi dalam penyusunan Statement of International Cataloguing Principles.

2. RDA ( Resources Description and Access)
RDA ( Resources Description and Access) merupakan standar baru untuk mendeskripsikan sumber daya dan akses informasi yang dirancang di era digital dan berbasis web yang akan melibatkan pencipta metadata dan pengguna di luar sektor perpustakaan. RDA akan mendukung integrasi cantuman katalog perpustakaan dengan metadata yang dihasilkan oleh masayarakat lainnya.
RDA dikembangkan oleh IFLA atas dasar :
a. The International Cataloguing Principles
b. Functional Requirements for Bibliographic Record
c. Functional Requirements for Authority Data
d. For Bibliographic DescriptionInternational Standart
RDA dalam penyusunanya telah melibatkan kelompok didalam maupun diluar komunitas perpustakaan, selain kelompok kerja FRBR dan FRAD juga menjalin kerjasama dengan :
a. Dublin Core, untuk membandingkan model konseptual dan standar yang digunakan oleh masing-masing
b. Jaringan pengembangan standar MARC Library of Congress, untuk memastikan RDA kompatibilitas dengan MARC 21
c. Seksi pengatalogan IFLA, dalam rangka menjamin harmonisasi dengan standar internasional
d. Komunitas terbitan, yang telah mengembangkan daftar istilah berbasis pada standar ONIX untuk digunakan baik dalam penerbitan dan perpustakaan masyarakat.
RDA dirilis tidak dalam bentuk atau format cetak seperti AACR tetapi sebagai web-based tools yang didesain untuk kebutuhan dunia digital dengan memiliki ciri khusus sebagai berikut :
(1) Disesuaikan dengan FRBR ( Functional Requirement for Bibliographic Record) dari IFLA dan model data baru yang relevan
(2) Petunjuk untuk pencatatan data akan disajikan terpisah dari petunjuk untuk tampilan data, supaya terjadi fleksibilitas yang lebih besar untuk cantuman yang digunakan di berbagai lingkungan online
(3) Tata letak dan format lebih ramah terhadap pengguna (user-friendly), dengan petunjuk yang ditulis dalam bahasa inggris yang sederhana, maksudnya tidak hanya dimengerti oleh pustakawan aja, melainkan dapat dengan mudah dipahami oleh orang diluar pustakawan.
a. Struktur RDA
Akan ada tiga bagian atau sections utama di RDA, ditambah beberapa lampiran (untuk penggunaan huruf kapital, singkatan, kata sandang, penyajian data deskriptif dan data pengendalian titik temu) , suatu daftar istilah, dan index. Ketiga bagian utama adalah:
• Part I – Resource Description (termasuk sasaran fungsional dan prinsip-prinsip deskripsi sumber informasi)
• Part II – Relationships atau hubungan (petunjuk umum tentang hubungan-hubungan, termasuk individu, keluarga, badan korporasi, yang punya relationship dengan sumber; sitasi untuk karya berhubungan, dan petunjuk khusus untuk beberapa jenis karya tertentu)
• Part III – Access Point Control (merumuskan titik akses atau titik temu dan mencatat data yang digunakan dalam pengendalian titik temu)
Seperti halnya AACR2 dan kode pengatalogan sebelumnya, RDA juga berisi pedoman dan petunjuk yang mengatur deskripsi sumber informasi, pemilihan dan bentuk titik temu. Juga akan ada keterangan tentang rujukan (references) dan hubungan antara satu cantuman dengan yang lainnya. Yang tidak akan ditemukan adalah petunjuk tentang tajuk subyek, klasifikasi atau nomor Cutter, content designation (penanda isi) yang digunakan dalam format-format seperti MARC 21 dan mark-up languages seperti XML.
Salah satu unsur penting RDA ialah bahwa RDA menetapkan suatu garis pemisah yang jelas antara perekaman data dan penyajian data. Fokus utama RDA ialah pada pedoman dan instruksi perekaman data untuk mencerminkan atribut dan hubungan antara entitas yang didefinisikan di FRBR (Functional Requirements for Bibliographic Record)
b. Susunan RDA
Unsur-unsur deskripsi diambil dari atribut-atribut dari entitas FRBR seperti work, expression, manifestation, dan item, dan akan disusun menurut user tasks. Draft yang paling mutakhir punya susunan sebagai berikut:
• Introduction
• General guidelines for resource description
• Identification of the resource
• Technical description
• Content description
• Information on terms of availability
• Item specific information
Pungtuasi ISBD tidak akan menjadi wajib lagi seperti halnya dengan AACR2, tetapi menjadi pilihan dengan petunjuk aplikasinya di salah satu lampiran RDA.

c. FRBR dan hubungannya dengan RDA
FRBR adalah akronim Functional Requirements for Bibliographic Records. FRBR dikembangkan oleh suatu Study Group IFLA (192-1997), dan IFLA masih tetap memonitor aplikasi FRBR dan mempromosikan penggunaannya.
FRBR mencakup suatu model konseptual yang terdiri atas entitas, hubungan, dan atribut-atribut, dan mengidentifikasi sasaran spesifik yang harus terpenuhi oleh cantuman bibliografi agar bermanfaat pengguna, yaitu: menemukan, mengidentifikasi, menyeleksi, mendapatkan.
Keempat kegiatan ini dalam terminologi FRBR disebut “user tasks”. FRBR merekomendasikan sekelompok unsur yang harus ada dalam cantuman bibliografi nasional.
FRBR merupakan bagian dari landasan konseptual RDA. RDA akan:
• menggunakan terminologi FRBR apabila sesuai (misalnya menggunakan nama satuan bibliografi seperti “work”, “expression”, “manifestation”, dan “item”)
• menggunakan atribut FRBR sebagai dasar untuk unsur data tertentu dari deskripsi bibliografi
• membahas hubungan-hubungan (relationships) FRBR di Part II dari RDA
• menggunakan user tasks sebagai dasar untuk menetapkan sekelompok unsur wajib

d. Keuntungan menggunakan RDA
RDA membawa perpustakaan maju menuju era digitalisasi dengan menyediakan instruksi untuk pengatalogan bahan digital dan non digital, yang semuanya didasarkan pada AACR2 yang fokus pada kebutuhan pengguna agar mudah mencari, mengidentifikasi, memilih dan menemukan informasi yang mereka butuhkan. Ada beberapa keuntungan dalam menggunakann RDA antara lain :
(1). RDA adalah sebuah standar pengatalogan baru untuk mendeskripsikan sumber daya dan akses informasi yang dirancang untuk dunia digital.
(2). RDA berfokus pada deskripsi sumber daya informasi, bukan untuk bagaimana menampilkan informasi. Pengguna dapat menggunakan konten RDA dengan berbagai skema pengkodean, misalnya MODS ( Metadata Object Descriptions Standard), MARC 21 atau Dublin Core.
(3). RDA bersifat adaptif dan fleksibel, sehingga memungkinkan digunakan oleh masyarakat informasi lainnya diluar perpustakaan.
(4). Ketentuan RDA dapat disesuaikan, sehingga dapat digunakan untuk mengatalog jenis bahan perpustakan yang spesifik.
(5), RDA meningkatkan efisiensi pengatalogan bahan format khusus melalui online tools dapat ditemukan semua aturan yang diperlukan sesuai dengan jenis bahan apa yang akan dikatalog.
(6). RDA memungkinkan pengguna untuk menambahkan sendiri cantuman online. Demikian pula aturan interprestasi dan kebijakan kelembagaan atau jaringan dapat terintegrasi dengan RDA-online.

e. Perubahan AACR ke RDA
Kalau dikaji lebih lanjut akan ditemukan beberapa perubahan yang signifikan pada RDA bila dibanding dengan pendahulunya ACCR2 yang antara lain :
(1). Perubahan istilah-istilah yang biasa digunakan dalam AACR, misalnya dalam AACR mendefinisikan “buku” sebagai objek fisik yang merupakan kumpulan kertas terjilid, maka pada RDA menyebutnya sebagai “item”. Ketika kita menyebut buku sebagai bahan publikasi yang memiliki ISBN, RDA menyebutnya sebagai “manifestation”. Ketika kita menemukan suatu buku yang merupakan penerjemahan dari karya seseorang, RDA menyebutnya sebagai “expression”. Dan ketika kita mengatakan buku sebagai konsep isi yang menjadi dasar bagi karya-karya lain dalam berbagai versi bahasa atau ide-ide seseorang dalam sebuah buku, RDA menyebutnya “work”
(2). RDA menghapus sistem kategorisasi istilah GMD (General Material Designatio) dan SMD (Specific Material Designation) yang ada dalam AACR, dengan menggatikan tiga elemen terpisah yaitu : media category, type of carrier, dan type of content.
(3). RDA mengutamakan penekanan pada relationships antara entitas kelompok FRBR yang terhubung dengan resources, hubungan antara masing-masing karya intelektual, hubungan antara sustu karya dan penciptanya dan hubungan antara person, families, dan corporate bodies.

3. Kesimpulan :

a. RDA merupakan sistem pengatalogan baru diera digitalisasi tidak dalam format tercetak seperti AACR, namun sistem pengatalogan berbasis web yang didesain untuk kebutuhan dunia digital.
b. Walaupun RDA mengalami perubahan yang signifikan, akan tetapi penyusunanya masih berdasarkan pada prinsip-prinsip AACR2 yang berfokus pada kebutuhan pengguna agar mudah mencari, mengidentifikasi, memilih dan menemukan kembali informasi yang dibutuhkan dan mendukung berbagai metadata yang berbeda dilayanan online.
c. Format RDA tetap menggunakan format MARC, namun tata letaknya lebih ramah terhadap pengguna (user friendly) dan disertai dengan petunjuk dalam bahasa inggris yang sederhana yang mudah dipahami oleh orang diluar perpustakaan.
d. Model konseptual FRBR, FRAD, FRSAR pada RDA lebih relevan di era informasi saat ini, model ini merupakan konsep atau metadata yang dikembangkan oleh IFLA, yang dapat membantu cataloguer dalam memahami domain yang digambarkan.

4. Daftar Bacaan

Eka Kurnia to ics-isis@yahoogroup.com ; dari Muhammad Irsyad Alfatih To : referensi-maya@yahoogroup.com.

http://www.rda-jsc.org/rda.html

Sahroni, 2010 : RDA : Standar pengatalogan Bahan Perpustakaan Abad 21. Posted on September 4th.

oleh
Pramukti Narendra,SS
(pustakawan UPT Perpustakaan UNIKA SOEGIJAPRANATA Semarang)

A. Latar Belakang

Perpustakaan dewasa ini semakin hari semakin menarik untuk dibicarakan keberadaannya. Terlebih setelah muncul Undang undang nomor 43 tahun 2007 yang mengatur tentang perpustakaan, sehingga profesi pustakawan dan lembaga pepustakaan menjadi semakin jelas arah dan tujuannya sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang Undang. Sebuah perpustakaan yang dikelola secara sederhana, minimal terdiri atas dua pelayanan yang diberikan. Pelayanan itu adalah pelayanan teknis dan pelayanan pada pengguna perpustakaan.
Pelayanan pemustaka Dalam UU No 43 Tahun 2007 pasal 14 disebutkan bahwa:
(1) Layanan perpustakaan dilakukan secara prima dan berorientasi bagi kepentingan pemustaka.
(2) Setiap perpustakaan menerapkan tata cara layanan perpustakaan berdasarkan standar nasional perpustakaan.
(3) Setiap perpustakaan mengembangkan layanan perpustakaan sesuai dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
(4) Layanan perpustakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan melalui pemanfaatan sumber daya perpustakaan untuk memenuhi kebutuhan pemustaka.
(5) Layanan perpustakaan diselenggarakan sesuai dengan standar nasional perpustakaan untuk mengoptimalkan pelayanan kepada pemustaka.
(6) Layanan perpustakaan terpadu diwujudkan melalui kerja sama antar perpustakaan.
Sedangkan untuk pelayanan teknis

Adapun pelayanan teknis meliputi kegiatan teknis perpustakaan antara lain kegiatan klasifikasi dan katalogisasi.
Menurut Sulistyo-Basuki, istilah klasifikasi berarti proses pengelompokan. Sedangkan klasifikasi di perpustakaan diberi definisi sebagai penyusunan sistematik terhadap buku dan bahan pustaka lain atau katalog atau entri indeks berdasarkan subjek, dalam cara paling berguna bagi mereka yang membaca atau mencari informasi. (Sulistyo Basuki 1991, 395). Salah satu pedoman dalam penyusunan klasifikasi di perpustakaan adalah Dewey Decimal Classification/DDC yang membagi ilmu pengetahuan dalam 10 kelas utama.
Selain klasifikasi, dikenal pula kegiatan katalogisasi di perpustakaan. Kegiatan katalogisasi berkaitan dengan kegiatan mencatat keterangan fisik sebuah koleksi. Deskripsi bibliografis merupakan istilah yang dikenal berkaitan dengan kegiatan katalogisasi. Adapun pedoman untuk kegiatan katalogisasi yaitu Anglo American Cataloguing Rules yang mengatur mengenai kegiatan deskripsi bibliografis. Hasil dari kegiatan katalogisasi adalah katalog yang pada umumnya telah kita ketahui bersama.
Katalog perpustakaan dalam format tercetak dengan ukuran 7,5 cm x 12 cm dewasa ini mengalami suatu tantangan mengenai keberadaanya di masa kini dan mendatang. Kehadiran OPAC (on line public access catalog) dengan memanfaatkan bantuan komputer saat ini sudah mulai menggeser keberadaan katalog fisik yang kurang menarik dari segeri penampilan dan penggunaannya. Pengguna perpustakaan kini semakin berkembang seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Pengguna perpustakaan kini juga sudah familiar dengan pemanfaatan internet untuk melakukan pencarian informasi dan secara perlahan peranan dan fungsi perpustakaan sebagai penyedia informasi berkompetisi dengan internet.
Rumusan Masalah
Pada makalah ini penulis ingin merumuskan dua masalah pokok yang dikemukakan :
1. Bagaimanakah peran dan fungsi katalog tradisional masa kini dan yang akan datang ?
2. Bagaimanakah peranan kataloger dan katalog di era sumber daya informasi elektronik ?


Tujuan
1. Diharapkan dari makalah ini kita dapat mengetahui bagaimana keberadaan katalog di masa yang akan datang
2. dari makalah ini juga ingin penulis kemukakan tentang adakah bentuk kegiatan pengganti bagi pustakawan yang selama ini bergelut dengan kegiatan katalogisasi


Katalogisasi dan katalog perpustakan masa kini dan yang akan datang
Pertanyaan ini merupakan terjemahan lepas dari sebuah sub judul artikel presentasi dalam bahasa Inggris dengan judul Whiter Cataloging? Yang ditulis oleh Karen Coyle dalam situsnya http://managemetadata.com/

Menurut Sulistyo-Basuki (1993: 315) katalog perpustakaan adalah daftar buku dalam sebuah perpustakaan atau dalam sebuah koleksi. Di kalangan pustakawan Inggris dan Amerika dikenal beberapa peraturan pengkatalogan. Sebagai tindak lanjut kearah penyeragaman peraturan pengkatalogan pada tahun 1987 terbitlah AACR 2 (Anglo American Cataloguing Rules ) sebagai hasil kerjasama antara America Library Association (ASO), Library Association (Inggris), Library of Congress dan Canadian Library Association.
Adapun tujuan katalog menurut Sulistyo-Basuki (1993, 316) adalah:
1. Memungkinkan seseorang menemukan sebuah buku yang diketahui berdasarkan :
a. pengarangnya
b. judulnya
c. subjeknya

2. Menunjukkan buku yang dimiliki perpustakaan
a. oleh pengarang tertentu
b. berdasarkan subjek tertentu
c. dalam jenis literatur tertentu

3. Membantu dalam pemilihan buku
a. berdasarkan edisinya
b. berdasarkan karakternya (sastra ataukah topik)

Katalog tercetak yang ada selama ini,adalah bentuk katalog standard yang didalamnya berisi informasi deskripsi bibliografis sebuah buku. Kartu katalog berukuran 7,5 x 12,5 cm .kartu ini kemudian dijajarkan dalam laci katalog sesuai dengan entrinya yaitu kartu katalog judul, kartu katalog pengarang, kartu katalog subyek.

Kartu katalog merupakan salah satu sarana temu balik informasi yang tersedia di perpustakaan. Di dalam kartu katalog terdapat informasi deskripsi bibliografis dari sebuah buku koleksi di perpustakaan.
Garis besar susunan deskripsi yang menjadi isi sebuahkatalog adalah sebagai berikut: (Sulistyo-Basuki 1993, 335)
1. Daerah Judul pengarang
2. daerah edisi
3. daerah keterangan penerbit
4. daerah keterangan fisik
5. daerah seri monografi
6. daerah catatan
7. daerah ISBN dan harga
Penggunaan katalog dewasa menurut penulis telah mengalami suatu pergeseran yang disebabkan pengaruh kemajuan teknologi informasi dengan kehadiran internet dan sumber daya digital yang ada di dalamnya.
Tentang masa depan katalog ada sebuah pendapat yang dikemukakan oleh Michael Gorman. menurut Gorman, masa depan katalog berhubungan dengan pentingnya menunjukkan struktur bibliografi untuk masa depan perpustakaan, bahwa perpustakaan adalah komponen penting dari pendidikan, pembelajaran dan literasi, masyarakat membutuhkan perpustakaan untuk belajar, warga negara yang terdidik untuk mengembangkan, berkembang, dan bertahan hidup.kami pustakawan memiliki sarana, pengalaman dan kemampuan untuk melestarikan pengetahuan dan informasi dengan dicatat dalam skala global untuk mewujudkan cita cita terbentuknya Universal Bibliographic Control dan memainkan peran penting kami dalam kemajuan kemanusiaan dan pengembangan perlindungan peradaban manusia. Khususnya untuk para kataloger, masa depan adalah tantangan dan cerah. Kita harus mempertahankan struktur bibliografi, bahwa kita telah membangun, memperluas dan mengembangkannya dalam dua cara. Yang pertama yaitu memastikan bahwa dokumen elektronik yang ada diatur dan disimpan sehingga dokumen itu tersedia bagi generasi mendatang. Kedua dengan peningkatan standar bibliografi di seluruh dunia dan memastikan bahwa seluruhnya mencapai level standard yang memungkinkan terciptanya suatu tingkatan kerjasama global. Beberapa berpendapat bahwa katalogisasi dan tenaga pengatalog akan dianggap usang— saya percaya pada kondisi sebaliknya yang benar—dan bahwa pengatalog akan punya peran yang makin penting dalam kegiatan perpustakaan dan masyarakat pada umumnya.
Lalu, apa yang harus kita tinggalkan ?
Bertolak dari pendapat diatas, bahwa salah satu tugas kataloger adalah pengelolaan dokumen elektronik yang dewasa ini tersedia dengan sangat melimpah ruah di internet, maka dapatlah dikatakan bahwa tugas kataloger masih dibutuhkan untuk mengelola berbagai dokumen baik tercetak maupun elektronik. Dokumen elektronik diperoleh dari berbagai pangkalan data elektronik yang tergabung dalam internet. Demikian pula perpustakaan masa kini juga mengikuti kemajuan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.

Pandangan sistem baru di Perpustakaan

Kepustakawanan memang lahir dan besar dalam lingkungan tradisi teks linear, terutama dalam bentuk buku, dengan semua ciri dan tata tertibnya. Sampai waktu yang sangat lama, buku adalah satu satunya koleksi perpustakaan besar di dunia. Semua sistem dan tata kerja perpustakaan didasarkan pada sifat buku dan perilaku pemakai buku (pembaca). Mulai dari ruang, sampai tata cara peminjaman, sampai ke sistem simpan dan temu kembalinya, semuanya berbasis buku. Akibatnya tidak jarang perpustakaan terjebak sendiri oleh kelambatan pengolahan koleksi dan kecanggungan sistem temu baliknya. Ketika proliferasi kegiatan ilmiah semakin spesifik dan ketika kecepatan permintaan informasi semakin meningkat, maka kepustakawanan harus mengubah orientasi agar mampu terus berfungsi di lingkungannya. Kepustakawanan khusus (special librarianship) merupakan salah satu solusi. Pada saat yang hampir bersamaan dengan kepopuleran kepustakawanan khusus, para teknolog menghadirkan komputer dan teknologi telekomunikasi baru. Seperti yang telah kita ketahui bersama, teknologi komputer pada dasarnya adalah teknologi pengolahan dan pengelolaan informasi – teknologi yang bekerja berdasarkan masukan informasi dan menghasilkan luaran berupa informasi pula. Penggunaan komputer untuk pengelolaan informasi segera menjadi solusi teknologi bagi upaya kepustakawanan dalam mengubah orientasinya. (Putu Laxman Pendit 2007, 4-5)
Dari mana pustakawan mengawali perpindahan orientasinya :
Menurut Karen Coyle dalam situsnya http://managemetadata.com/ perpustakaan masa kini sudah saatnya untuk berorientasi pada platform yang berbasis web. Hal ini karena memungkinkan dilakukannya :
1. eksplorasi berbagai sarana dan teknik untuk berbagi data bibliografi pada level jaringan
2. berkembangnya standar pelayanan perpustakaan yang cepat dalam format yang dapat dibaca oleh mesin khususnya yang dikembangkan di dalam web
3. Menyediakan akses yang standar melalui registrasi atau tersedianya web yang standar sehingga dapat diakses dan digunakan oleh seluruh aplikasi web.


Untuk itu maka dibutuhkan satu cara pandang baru yang dikembangkan dalam sebuah sistem di perpustakaan berhubungan dengan pengembangan sistem yang mampu saling terhubung khususnya dalam cantuman bibliografi. Selain itu juga mendorong peningkatan sistem perpustakaan yang menyediakan pula kemampuan untuk terhubung ke berbagai pangkalan data yang dibutuhkan oleh pengguna perpustakaan (sebagai contoh amazon, wikipedia) dan dalam waktu yang sama mencari peluang untuk mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan dengan berbagai entitas komersial dan akan memperoleh manfaat dari berbagai upaya ini.

Lebih lanjut dikatakan bahwa data akan memperkaya sebuah perpustakaan, yaitu dengan mengembangkan suatu sistem perpustakaan yang dapat menerima berbagai masukan dari pengguna dan berbagai data non-perpustakaan tanpa mengganggu integritas data perpustakaan yang telah dibuat. Perlu mengenali pula pihak pihak yang memberikan kontribusi data kepada perpustakaan dengan tetap tidak melakukan tindakan yang melanggar keamanan data di perpustakaan. Mengembangkan metode untuk memandu pengguna melalui teknik penandaan yang menunjukkan pada kosakata entri.

Katalogisasi Masa Depan

Mengamati berbagai kemajuan di bidang sumberdaya digital dan melimpah ruahnya informasi yang berkembang di dalamnya. Kita berada di abad 21 dengan segala kemajuan yang telah kita alami khususnya di bidang teknologi informasi. Perpustakaan abad 21 juga mengalami banyak perubahan khususnya di bidang pengelolaan sumberdaya informasi yang beragam.
Maka jika pada era masa lalu pustakawan bergelut dengan tinta dan kertas, tugas pustakawan adalah membuat cantuman bibliografi untuk disusun dalam katalog lokal, sekarang tugasnya ialah membuat cantuman yang cocok untuk suatu katalog universal untuk sumber sumber berbasis web. (Putu Laxman Pendit 2007, 200) membicarakan sumber sumber berbasis web, maka tidak terlepas dari peran metadata. Nah apa metadata itu ?
Metadata adalah data tentang data (Putu Laxman Pendit: 2007, 200). Salah satu definisi metadata yang lebih rinci berbunyi metadata adalah data yang (1) terstruktur, (2) ditandai dengan kode agar dapat diproses oleh komputer, (3) mendeskripsikan ciri-ciri satuan satuan pembawa informasi dan (4) membantu identifikasi, penemuan, penilaian dan pengelolaan satuan pembawa informasi tersebut. Cantuman bibliografi berformat MARC adalah metadata.

Cantuman metadata yang lazim kita kenal yaitu Dublin Core yang mendeskripsikan metadata dalam
Katalogisasi masa depan lebih berkaitan erat dengan pengelolaan sumber informasi yang berasal dari bahan non buku. Sumber informasi dari bahan non buku sekarang ini banyak sekali menjejali perpustakaan. Ketika buku yang dicari tidak ditemukan, maka pengguna akan mencari alternatif sumber informasi lain yang bisa memenuhi kebutuhan informasinya.

Ketika sumber sumber informasi (information resources) yang tersimpan di perpustakaan dan lembaga serupa tidak lagi terbatas pda monograf, terbitan berseri, bahan audio visual dan format lain yang masih analog, “pra-komputer atau “nir-komputer” system-sistem dan praktek-praktek pengatalogan yang asal mulanya didesain dan dikembangkan untuk pengatalogan buku harus disesuaikan dengan drastis. Metadata diharapkan bisa menjadi salah satu sarana untuk menjinakkan pertumbuhan liar akibat ekposi, revolusi dan proliferasi ini. Pengatalogan tradisional tidak cukup. Pengatalogan tradisional menghasilkan data deskriptif yang masih tetap diperlukan, khususnya untuk proses resource discovery, namun pengatalogan ini tidak dapat menampung berbagai data lain yang amat penting (Putu Laxman Pendit: 2007, 205).


RDA Resource Description and Access

Kegiatan katalogisasi dewasa ini masih berpedoman pada pedoman yang kita kenal dengan nama AACR2 atau Anglo American Cataloguing Rules 2 yang merupakan pedoman bagi kataloger dalam deskripsi bahan perpustakaan. Peraturan AACR telah digunakan oleh katoger dalam mendeskripsikan bahan perpustakaan. Selain AACR, kita kenal juga sebuah sarana untuk pengelolaan informasi yang berasal dari sumber digital. Yang selanjutnya pengelolaan sumber digital ini disebut sebagai metadata. Metadata yang banyak digunakan untuk pengelolaan sumber digital antara lain Dublin Core. Sejak awal dublin core dimaksudkan sebagai skema metadata yang dapat dipakai di semua negara, oleh semua jenis komunitas, institusi, dan untuk semua jenis informasi. (Putu Laxman Pendit: 2007, 208)
Format dublin core kini menjadi salah satu format metadata yang juga dikembangkan di Indonesia untuk berbagai data digital.

Kini, dunia perpustakaan dan informasi kembali diajak untuk mendiskusikan topik baru berkaitan dengan hadirnya sebuah format baru deskripsi yang dikenal dengan Resource Description and Access atau RDA resmi menggantikan AACR,
setelah mulai di implementasikan tahun 2010 oleh perpustakaan di AS,
Inggris, Kanada, Selandia Baru, Australia dan akan menyusul Jerman dan
Perancis. Negara-negara lainnya di Asia seperti Singapura, Malaysia,
Thailand, Jepang, China masih dalam proses persiapan
pengimplementasian sistem ini, mungkin termasuk juga PNRI.

RDA dirilis tidak dalam format tercetak seperti AACR tetapi sebagai
web-based tools yang didesain untuk kebutuhan dunia digital dan bisa
dicustomised sesuai dengan besar-kecilnya perpustakaan, jenis
perpustakaan, kebijakan perpustakaan, dll. Meskipun terdapat banyak
perubahan signifikan, RDA dibangun di atas fondasi AACR yang telah
lama digunakan oleh pustakawan untuk menghasilkan jutaan records di
seluruh dunia sejak diterapkan lebih dari beberapa dekade.


Mengapa RDA?

AACR yang selama ini digunakan dibuat berdasarkan pengkategorian jenis
bahan pustaka. Dalam AACR ada bab-bab khusus untuk buku, terbitan
berseri, sound recording, motion pictures, electronic resources, dll.
Struktur masing-masing bab dibuat berdasarkan 8 area yang ada
dideskripsikan dalam ISBD. Saat ini, perbedaan jenis pustaka semakin
kabur seiring perkembangan teknologi informasi dan multimedia.


AACR dikembangkan di era katalog kartu dan banyak terminologi dalam
AACR yang digunakan saat ini masih merefleksikan situasi tersebut,
seperti misalnya “heading”, “main entry”, dan “added entry”.
Modifikasi istilah sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini
dianggap belum cukup untuk menjadikan AACR relevan dengan dunia
digital.

RDA dibuat berdasarkan model konseptual Functional Requirements for
Bibliographic Records (FRBR), Functional Requirement for Authority
Data (FRAD), dan Functional Requirement for Subject Authority Records
(FRSAR). Model ini merupakan konsep entities, relationship, and
attributes atau metadata yang dikembangkan oleh IFLA.


Model konseptual dipandang lebih relevan di era informasi saat ini
karena dapat membantu memahami domain yang digambarkan. Dalam RDA
tugas cataloguer antara lain,

1. Mengidentifikasi dan mendefisinikan hal-hal yang penting (entities)
2. Mengidentifikasi dan mendefinisikan hubungan (relationship) antar entities
3. Mengidentifikasi dan mendefinisikan attribute yang merupakan karakter dari entities.



Sebagai contoh untuk relationship antar entities, dalam record RDA
cataloguer dapat membuat “The fellowship of the ring” memiliki sequel
“the two towers”; atau mendefinisikan Frank Seiberling adalah pendiri
Goodyear Tire and Rubber Co.


Struktur RDA
RDA dikelompokan menjadi tiga model konseptual:

I. FRBR atau konsep entitas, terdiri dari
A. Work, core elements:
1. Title of work
2. Date of work
3. Place origin of the work
4. Form of work
5. Other distinguishing characteristic of the work
6. Identifier for the work
7. Medium of performance
8. Dll.
B. Expression, core elements:
1. Date of expression
2. Language of expression
3. Content type
4. Identifier for the expression
5. Accessibility content
6. Illustrative content
7. Form of notation
8. Source consulted
9. Status of identification
10. Dll.
C. Manifestation, core elements:
1. Title
2. Distribution statement
3. Manufacture statement
4. Publication statement
5. Copyright date
6. Carrier type
7. Media type
8. Dimensions
9. URL
10. Preferred citation
11. Note
12. Terms of availability
13. Contact information
14. Restriction on use
15. Restriction on access
16. Production statement
17. Digital file characteristic
18. Mode of issuance
19. Frequency
20. Font size
21. Book format
22. Dll.
D. Item
1. Custodial history of item
2. Immediate source of acquisitions of item
3. Item-specific characteristic
4. Dll.


Istilah work, expression, manifestation, dan item adalah untuk
memperjelas istilah membingungkan yang ada di dalam cataloguing rules.
Misalnya, ketika kita mendefinisikan “buku” sebagai objek fisik yang
merupakan kumpulan kertas terjilid, maka RDA menyebutnya sebagai
“item”.


Ketika kita mengatakan buku sebagai jenis bahan publikasi yang berada
di toko buku dan memiliki ISBN, RDA menyebutnya sebagai
“manifestation”. Ketika kita mendapatkan suatu buku yang merupakan
penerjemahan atau variasi dari karya seseorang, RDA menyebutnya
sebagai “expression”. Dan ketika kita mengatakan buku sebagai konsep
isi yang menjadi dasar bagi karya-karya lain dalam berbagai versi
bahasa atau ide-ide seseorang dalam sebuah buku, RDA menyebutnya
sebagai“work.”


Bila didefinisikan lebih lanjut, Work adalah karya intelektual atau
artistic seseorang yang masih merupakan entitas abstrak. Misalnya LOTR
oleh Tolkien. Expression adalah realisasi suatu karya dalam format
tertentu, misalnya suatu bahasa. Seperti juga Work, Expression masih
merupakan konsep abstrak. Manifestation adalah perwujudan fisik dari
expression suatu karya. Misalnya seluruh edisi LOTR di edit oleh
Harold Bloom dan diterbitkan Roundhouse tahun 2001. Manifestation
direpresentasikan dalam bibliographic record. Sedangkan Item adalah
eksemplar dari Manifestation, atau biasa yang disebut sebagai copy.



II. FRAD, terdiri dari
A. Persons
1. Name of the persons
2. Fuller form of name
3. Date associated with the the person
4. Identifier for the person
5. Field of activity of the person
6. Profession or occupation
7. Biographical information
8. Language of the person
9. Gender
10. Affiliation
11. Address of the person
12. Place of birth
13. Place of death
14. Place of residence
15. Source consulted
16. Dll.

B. Families
1. Name of the family
2. Place associated with the family
3. Prominent member of the family
4. Hereditary title
5. Familiy history
6. Dll.

C. Corporate Bodies
1. Name of the corporate body
2. Associated institution
3. Identifier for corporate body
4. Corporate history
5. Number of a conference
6. Dll.


III. FRSAR
A. Concepts
B. Objects
C. Event
D. Places


Perubahan siginfikan lain yang ada di RDA jika dibandingkan
pendahulunya, AACR adalah RDA mengkonsultasi pengembangan sistem
kategorisasi dengan perpustakaan dan penerbit. Kategorisasi ini akan
menghapus istilah GMDs dan SMDs yang digunakan dalam AACR dengan
menggantinya dengan tiga elemen terpisah : media category, type of
carrier, dan type of content.


Pada RDA penekanan pada relationships juga diutamakan, antara lain:
1. Kaitan antara entitas kelompok FRBR yang terhubung dengan resource
2. Hubungan antar masing-masing karya intelektual
3. Hubungan antara suatu karya dan penciptanya
4. Hubungan antara persons, families, dan corporate bodies.


Penutup

Dari berbagai pendapat yang ada maka dapat penulis ungkapkan pendapat bahwa masa depan kegiatan kataloger tetap ada di perpustakaan, kataloger di perpustakaan tetap dibutuhkan untuk mengelola berbagai data dan informasi yang berkembang di perpustakaan. Pengembangan diri dan kemampuan kataloger malah semakin dituntut lebih luas lagi dalam mengantisipasi berbagai perubahan yang cukup dinamis dalam kegiatan perpustakaan.


Daftar Pustaka

Indonesia. Undang-Undang No 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007

Sulistyo-Basuki. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia, 1993.

Putu Laxman Pendit. Perpustakaan Digital: perspektif perpustakaan perguruan tinggi Indonesia. Jakarta: Sagung Seto, 2007

Karen Coyle, Gordon Dunsire. Trepidation or anticipation, the future of cataloguing and catalogers. www.slideshare.net/…/the-future-o-cataloging-and-catalogers-presentation-
Michael Gorman. What is the future of cataloguing and cataloguers? http://archive.ifla.org/IV/ifla63/63gorm.htm, diunduh 27 Oktober 2010
Muhammad Irsyad Alfatih. Resource Description and Access atau RDA resmi menggantikan AACR
Echols, John M. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1991.
RDA: Resource Description & Access. http://www.rdatoolkit.org/, diunduh 28 OKtober 2010

Melvil Dewey di dalam dunia perpustakaan bukanlah nama asing lagi. Namanya telah dikenal luas di dunia perpustakaan. Melvin Dewey dikenal sebagai peletak dasar pengklaifikasian koleksi di perpustakaan. Dialah yang pertama kali mengenalkan secara baku pengklasifikasian di perpustakaan yang dikemudian hari dijadikan sebagai standar baku dalam pengklasifikasian koleksi di perpustakaan.
Melville Louis Kossuth Dewey atau yang lebih dikenal dengan nama Melvil Dewey dilahirkan di Adam Center dekat Watertown, New York pada tanggal 10 Desember 1851. Dia adalah anak termuda dari lima orang bersaudara. Ayahnya adalah seorang pembuat sepatu dan pelayan toko, sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga biasa.

Dewey muda tercatat sebagai mahasiswa di Amherst College pada tahun 1870. Dia menyelesaikan pendidikan diplomanya di perguruan tinggi tersebut pada tanggal 9 Juli 1874. Ketika dia menempuh pendidikan di perguruan tinggi tersebut, dia juga bekerja sebagai asisten pustakawan sampai dengan tahun 1876. Ketika bekerja di Perpustakaan Amherst College, Dewey telah mulai melakukan pengklasifikasian pada koleksi-koleksi yang ada di perpustakaan tersebut. Dia mengelompok-lompokkan koleksi dalam satu bidang ilmu yang sama ke dalam satu tempat yang sama. Hal inilah yang dikemudian hari akan lebih berkembang dan menjadi peletak dasar pengklasifikasian di perpustakaan.
Pada tahun 1876 sampai dengan tahun 1883 dia bekerja di Boston dan pada tahun 1883 sampai dengan 1888 dia tercatat sebagai pustakawan di Universitas Kolombia di New York.
Dewey muda dikenal sebagai orang yang cerdas. Pemikiran-pemikiran kritisnya terhadap hal-hal yang menyangkut perkembangan dunia kepustakawanan menjadi dasar perubahan di dalam dunia kepustakawanan itu sendiri. Beberapa orang yang membuat biografi tentang Dewey mengungkapkan bahwa Dewey adalah sosok figure yang luar biasa. Bahkan beberapa diantaranya menyebut dia sebagai Bapak Kepustakawanan Amerika.
Ketertarikannya untuk melakukan mengelompok-mengelompokan koleksi-koleksi yang ada di perpustakaan telah dimulai sejak dia masih tercatat sebagai mahasiswa di Amherst College. Bahkan sebelumnya, hal itu telah dia lakukan ketika dia masih tinggal di rumah bersama kedua orang tuanya. Hal sederhana yang dia lakukan adalah dengan mengelompok-ngelompokkan semua peralatan dapur milik ibunya.
Hal yang mendasari pemikiran Dewey muda ketika itu adalah ketika dia melihat dari beberapa perpustakaan di New York yang pernah didatanginya belum memiliki sistem yang praktis yang dapat membantu pengguna perpustakaan untuk dapat menemukan koleksi yang dibutuhkan. Menurut pandangan Dewey pada waktu itu, masih banyak waktu terbuang yang dilakukan baik oleh pustakawan maupun pengguna perpustakaan untuk dapat menemukan koleksi yang dibutuhkan. Hal inilah yang mendorong ketertarikan dari Dewey terhadap sistem organisasi koleksi perpustakaan.
Konsep dan dasar operasi yang dia pergunakan untuk merancang sistem organisasi koleksi perpustakaan adalah sebagaimana yang pernah dia lakukan pada saat dia bekerja sebagai pustakawan di Amherst College. Dia mencoba merancang sebuah sistem yang dapat membantu seseorang untuk dapat seefisen mungkin menemukan koleksi yang dibutuhkan di perpustakaan. Dia mencoba membuat sebuah sistem yang dapat dipergunakan secara fleksibel dan sebuah sistem yang sederhana yang mudah dipahami.
Dewey membagi sistem klasifikasi dalam sepuluh golongan dasar yaitu untuk klasifikasi umum (000), psikologi dan filsafat (100), agama (200), ilmu sosial (300), bahasa (400), ilmu alam dan matematika (500), ilmu terapan (600), seni (700), kesusastraan (800) dan geografi sejarah (900). Sepuluh klas utama ini dibagi dalam sepuluh divisi, dan setiap divisi ini dibagi dalam seksi-seksi hingga sampai pada tingkatan paling kecil yang sekiranya dapat mewakili dari isi koleksi yang diklasifikasikan.
Pada tahun 1876, Dewey mempublikasikan hasil pemikirannya ini pertama kali. Dewey mempublikasikan hasil pemikirannya ini dalam Dewey Decimal Clasification : A Classification and Subject Index for Cataloguing and Arranging the Books and Pamphlets of Library. Terdapat beberapa tokoh di bidang kepustakawanan pada masa itu yang memberikan tanggapan atas hasil pemikiran Dewey ini. Di antara adalah W.C Berwick Sayers dan Paul Salvan. Mereka berdua memberikan tanggapan bahwa apa yang dihasilkan oleh Dewey ini akan membawa sebuah perubahan yang mendasar di dunia kepustakawanan. Mereka berdua mengungkapkan bahwa ini adalah sebuah reformasi di bidang kepustakawanan.
Beberapa tahun sebelum hasil pemikiran Dewey dipublikasikan secara luas, di Amerika Serikat sekitar tahun 1850-an telah muncul tuntutan pembentukan “national union catalog” yang akan menghimpun katalog berbagai perpustakaan. Pada tahun-tahun tersebut, para pustakawan menyadari bahwa mereka sudah terbiasa mengelola koleksi perpustakaan tetapi belum mempunyai prosedur maupun alat simpan dan temu kembalinya. Pada tahun-tahun tersebut ada seorang pustakawan yang bernama William Frederick Poole dari Yale College. Dia merancang “collective index” untuk memecahkan permasalahan tersebut. Tetapi apa yang telah dibuat oleh Poole belumlah bisa memberikan jawaban atas permasalahan yang sedang dihadapi oleh para pustakawan pada masa itu. Hingga pada tahun 1876, American Library Association (ALA) mengenalkan sistem organisasi koleksi perpustakaan yang dirancang oleh Dewey. Hal yang perlu diketahui, Dewey adalah salah satu pendiri American Library Association.
Pada tahun 1876, Melvil Dewey mendirikan sebuah yayasan yang dipergunakan untuk mendukung pengembangan dunia kepustakawanan. Yayasan yang didirikan oleh Dewey ini memberikan suplai jangka panjang perlengkapan-perlengkapan yang berkaitan dengan kebutuhan perpustakaan, seperti kartu catalog. Dari hal tersebutlah kemudian dikenalkan adanya standarisasi dalam kartu catalog.
Kiprah Melvil Dewey di dunia kepustakawanan tidak hanya sebatas menghasilkan Dewey Decimal Classification saja, dia jugalah yang mendirikan the School of Library Economic di Colombia College pada tanggal 5 Mei 1887. Dari sinilah perkembangan pendidikan kepustakawanan di Amerika Serikat dimulai. Pada tahun 1889, sekolah ini dipindahkan ke Albany, New York dan berubah nama menjadi New York State Library School. Di samping itu, pada tahun 1895, Dewey mengenalkan juga the Universal Decimal Classification yang dipergunakan sebagai acuan pengklasifikasian pada perpustakaan khusus.
Dari apa yang telah diungkapkan di atas dapat kita ketahui, Melvil Dewey memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan di dunia kepustakawanan. Hasil pemikirannya yang dihasilkan dalam bentuk Dewey Decimal Classification, memberikan sebuah perubahan di dalam dunia perpustakaan. Dewey tidak hanya dikenal sebagai pustakawan, tetapi dia juga dapat kita sebut sebagai pendidik dan ilmuwan di bidang perpustakaan. Konsep-konsep pemikirannya memberikan banyak manfaat, yang mana manfaatnya tersebut dapat kita rasakan hingga saat ini. Membantu kita para pustakawan dalam mengelola sistem temu kembali di perpustakaan. Harapan-harapan kita ke depan, dapat bermunculan Dewey-dewey yang lainnya yang dapat memberikan kontribusi yang sangat besar dalam perkembangan dunia kepustakawanan, terutama dunia kepustakawanan di Indonesia.

Daftar Pustaka
Elliot, Anna. “Melvil Dewey : A Singular and Contentious Life.” Wilson Library Bulletin, May, 1981.

Niculescu, Zenovia. “Melvil Dewey’s Personality.” Library Journal, Agustus, 1991.

Rayward, W. Boyd. “Melvil Dewey and Education for Librarianship.” Journal of Library History, Oktober, 1968.

York, Barry. “Melvil Dewey : Cataloguer Extraordiordinaire.“ National Library of Australia News, April, 1998.

Konsumen adalah raja. Suatu ungkapan yang sangat familiar di telinga dan pikiran semua orang. Di dunia pemasaran ungkapan tersebut menjadi suatu harga mati yang harus diterapkan. Bahkan begitu merasuknya dalam praktek keseharian, ungkapan tersebut sudah menjadi lelucon atau bahan olokan bagi pelaku bisnis. Tidak sedikit konsumen salah menafsirkan ungkapan tersebut sehingga lagak, gaya dan tuntutannya benar-benar mengidentikkan diri sebagai seorang raja. Segala sesuatu harus dilayani dengan sempurna. Kejadian dan sikap berlebihan tersebut seringkali menjadikan seorang karyawan merasa dongkol dan berdampak pelayanan yang diberikan tidak sesuai ketentuan perusahaan.

Pada hakekatnya konsumen yang menghidupi seluruh karyawan. Perusahaan memproduksi barang atau jasa ditujukan kepada konsumen. Konsumen membayar manfaat yang diperoleh dari produk barang atau jasa yang dinikmatinya. Bila pasar berjalan dengan sempurna, di mana konsumen mempunyai banyak pilihan untuk memenuhi kebutuhannya, maka produsen harus benar-benar mengetahui apa yang dibutuhkan konsumen. Produsen yang mampu memahami dan memenuhi kebutuhan konsumen, dan konsumen merasa puas terhadap kinerja dan layanan yang diberikan akan mampu bertahan di era global. Konsumen merupakan faktor kunci sukses (key succes factor/KSF).

Memahami karakteristik konsumen merupakan hal yang sangat fundamental. Maka pola pikir yang dibangun perusahaan atau organisasi juga harus mengikuti logika konsumen. Pada tataran ini akan timbul konsep yang dikenal dengan customer value (nilai konsumen). Mulyadi (2001:230) mendefinisikan customer value sebagai selisih antara manfaat yang diperoleh konsumen dari produk barang atau jasa yang dikonsumsi dengan pengorbanan yang dilakukan konsumen untuk memperoleh manfaat itu. Manfaat yang diperoleh dan pengorbanan yang dilakukan oleh konsumen ditentukan oleh tingkat kualitas hubungan yang dibangun antara produsen dan konsumen.

Praktik di dunia pemasaran dan jasa tersebut juga terjadi di ranah perpustakaan. Pembeli atau konsumen di perpustakaan disebut pengunjung atau pemakai (user). Perpustakaan harus jeli melihat pasar dan menentukan segmentasi pemakainya. Di perpustakaan perguruan tinggi, sivitas akademika perguruan tinggi merupakan segmen utama yang harus dilayani. Pada perpustakaan umum pemakai utamanya adalah penduduk di wilayah perpustakaan umum tersebut, terutama penduduk yang tidak dapat lagi memperoleh akses pada pendidikan formal.

Perpustakaan merupakan suatu lembaga penyedia jasa informasi yang sebagian besar bertujuan tidak untuk mencari keuntungan atau nirlaba. Pada banyak praktik di Indonesia, karena institusi bersifat nirlaba, maka kualitas layanan kepada pemakai tidak menjadi prioritas. Bekerja asal tidak melanggar aturan, target pencapaian minimal dan rendahnya budaya kualitas adalah gambaran yang jamak terjadi, demikian pula dengan perpustakaan. Sorotan dan tuntutan terutama pada pegawai negeri sipil sangat besar. Slogan layanan prima hanya ada pada pelatihan dan seminar belaka.

Sementara itu perubahan paradigma manajemen jasa sangat cepat. Di negara maju pendekatan prinsip pemasaran sudah dilakukan oleh perusahaan jasa hampir seabad silam. Pemakai merupakan faktor utama eksistensi dan operasionalnya suatu institusi, terlebih lagi institusi penyedia jasa. Perubahan paradigma yang terjadi digambarkan dengan jelas oleh pakar pemasaran Indonesia yaitu Hermawan Kertajaya. Kertajaya membuat suatu kredo yang terkenal dengan The 10 Credos of Compassionate Marketing di mana kredo kedua adalah ”BE SENSITIVE TO CHANGE AND BE READY TO TRANSFORM” dengan tambahan keterangan yang menyebutkan:

“Dunia tidak akan selamanya seperti ini. Lanskap bisnis akan terus berubah. Kompetisi yang semakin sengit tidak mungkin dihindari lagi. Globalisasi dan teknologi akan membuat pelanggan semakin pintar. Kalau kita tidak sensitif dan tidak cepat-cepat mengubah diri, maka kita akan habis”

Sudah menjadi keharusan bagi pustakawan dan perpustakaan di Indonesia agar mampu bersaing di lingkungan global. Menurut Mulyadi (2001:256) keberhasilan organisasi dalam memasuki lingkungan global dipengaruhi oleh empat faktor yaitu :

1. Kecepatan organisasi dalam merespon kebutuhan pemakai/konsumen;


2. Fleksibilitas personil dalam penyesuaian diri dengan perubahan lingkungan bisnis, kemampuan belajar keterampilan baru, kebersediaan memasuki lingkungan baru yang sama sekali belum pernah dikenal;

3. Keterpaduan antara organisasi dengan stockholder untuk memenuhi kebutuhan pemakai; dan

4. Kemampuan organisasi untuk menciptakan produk baru dan proses baru untuk memenuhi perubahan kebutuhan pemakai/konsumen.

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedang pada pasal 45 (1) dinyatakan bahwa setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan peserta didik.

Salah sarana yang amat penting, tetapi bukan satu-satunya adalah perpustakaan yang
harus memungkinkan para tenaga kependidikan dan para peserta didik memperoleh kesempatan untuk memperluas dan memperdalam pengetahuan dengan membaca bahan
pustaka yang mengandung ilmu pengetahuan yang diperlukan. Hal ini mengandung arti
bahwa dalam penyelenggaraan sekolah sebagai satuan pendidikan pada jalur formal
dipersyaratkan untuk menyediakan sarana pendidikan yang sesuai dengan perkembangan
fisik, kecerdasan, intelektual, sosial , emosional, dan psikis peserta didik.
Namun dalam pelaksanaannya, penyelenggaraan perpustakaan sekolah banyak mendapat kritik karena berbagai kelemahannya. Kritik ini terutama ditujukan pada peran perpustakaan sekolah itu sendiri yang belum mampu menunjang proses kegiatan belajar peserta didik secara optimal (Sulistyo-Basuki, 1991:50). Dengan segala keterbatasannya akhirnya perpustakaan sekolah hanya berfungsi sebagai pelengkap dari satuan pendidikan formal. Hal ini memperlihatkan lemahnya peran perpustakaan sekolah dalam menunjang proses belajar siswa di sekolah.

Beberapa alasan penyebab tidak maksimalnya perpustakaan dalam menjalankan tugas
dan fungsinya, antara lain :
(1) kurangnya pemahaman/pengertian terhadap essensi
perpustakaan sebagai infrastruktur dalam menyediakan informasi (baik dari pihak kepala sekolah, guru dan siswa)
(2) pengelola perpustakaan sekolah tidak optimal dalam memberikan jasa layanan terutama rangka memenuhi kebutuhan informasi pemakai
(3)kurang terpeliharanya komunikasi antara perpustakaan sekolah dengan masyarakat
pemakainya.
Berkaitan dengan hal tersebut diperlukan aktivitas promosi untuk dapat meningkatkan
pemberdayaan perpustakaan sekolah dengan sasaran terwujudnya optimalisasi sumberdaya
perpustakaan.
Problematika dalam pengelolaan perpustakaan sekolah
Dalam pengelolaan perpustakaan sekolah, seringkali diperhadapkan dengan berbagai
kendala diantaranya :

1. Ruang Perpustakaan
Tidak semua sekolah memiliki ruang perpustakaan tersendiri. Umumnya sekolah-
sekolah tidak menganggap hal itu sebagai suatu masalah. Akibatnya banyak sekolah yang
menjadikan ruang-ruang sempit untuk perpustakaan. Misalnya di gang-gang antar kelas, di perumahan yang tidak terpakai, bahkan sangat mungkin bercampur dengan ruang guru atau tata usaha.
2. Koleksi Bahan Pustaka
Dalam pengembangan koleksi bahan pustaka, pada umumnya sekolah-sekolah di
Indonesia hanya mengharapkan datangnya bahan pustaka dari pemerintah. Tidak ada
upaya untuk mencari atau mendapatkan dari cara yang mandiri. Akibatnya bahan pustaka
tidak seimbang prosentase antar golongan/klasifikasi. Dari hasil pantauan selama ini, bahan pustaka koleksi perpustakaan sebagian besar terdiri dari buku-buku pelajaran dan buku-buku cerita/dongeng yang tidak menunjukkan adanya rencana pengembangan perpustakaan. Memang ada sedikit sekolah yang menyertakan surat kabar atau majalah di perpustakaannya, namun itupun tidak rutin dan sekedar menjadi jangan kepantasan atau pelengkap belaka. Lebih parah lagi jika buku-buku perpustakaan isimpan di almari tertutup dan hanya dipinjamkan kepada murid sepanjang diperlukan.
3. Anggaran
Anggaran untuk pengembangan perpustakaan pada umumnya tidak menentu. Tidak ada ketentuan secara pasti berapa anggaran pengembangan perpustakaan secara rutin
dapat diperoleh dari suatu sumber. Anggaran hanya didapatkan dari pungutan murid-murid sepanjang diperlukan saja. Kadang-kadang ada yang mengenakan denda bagi murid yang melanggar aturan perpustakaan. Jadi secara umum bisa dikatakan bahwa anggaran perpustakaan sekolah tidak menentu. Jikalau ada alokasi anggaran itupun jumlahnya sangat minim dibandingkan dengan kebutuhan untuk pengembangan koleksi perpustakaan sekolah Menurut Pedoman Perpustakaan Sekolah yang dikeluarkan IFLA/UNESCO , anggaran material perpustakaan sekolah paling sedikit adalah 5% untuk biaya per murid dalam sistim persekolahan, tidak termasuk untuk belanja gaji dan upah, pengeluaran pendidikan khusus, anggaran transportasi serta perbaikan gedung dan sarana lain.

4. Tenaga Pengelola
Tenaga pengelola perpustakaan umumnya masih belum memenuhi syarat dan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengelola perpustakaan. Dan yang menyedihkan bahwa urusan mengelola perpustakaan cenderung diberikan kepada guru yang mau saja. Bahkan di beberapa sekolah yang ditugaskan mengelola perpustakaan adalah tenaga yang tidak memiliki ijin mengajar, seperti guru yang terkena peraturan, tenaga tata usaha, yang kesemuanya jauh dari persyaratan yang ada.

5. Partisipasi Pemakai
Para siswa pada umumnya hanya tahu soal meminjam dan membaca buku perpustakaan saja dan itupun dilakukan dalam waktu yang teramat singkat, yaitu pada jam-jam istirahat. Sedikit sekali sekolah yang memberikan kesempatan bagi siswa untuk membaca di perpustakaan dengan waktu yang cukup , misalnya dengan memasukkan aktifitas membaca sebagai bagian dari kurikulum. Demikian juga tidak banyak di antara siswa-siswa yang berpikir soal bagaimana perpustakaan ini bisa maju. Keadaan ini masih lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi dimana siswa sama sekali tidak memiliki minat baca.
Soal minat baca di banyak sekolah di Indonesia memang masih rendah. Ironisnya
jarang pihak sekolah yang mau berpikir bagaimana mengatasi masalah hal ini.
Kondisi tersebut di atas merupakan kendala bagi perpustakaan sekolah untuk bisa
menjalankan tugas dan fungsinya terutama dalam memenuhi kebutuhan masyarakat
pemakaiya.

Oleh sebab itu perlu ada upaya meningkatkan peran dan fungsi perpustakaan dengan
melibatkan semua unsur dalam sekolah untuk meningkatkan pemberdayaan perpustakaan
sekolah. Pengembangan perpustakaan hendaknya juga menjadi prioritas program sekolah
dalam bentuk penyediaan dana dan sumberdaya yang lain. Disamping itu juga perlu ada
upaya mempromosikan perpustakaan sekolah kepada seluruh komponen sekolah sehingga
keberadaannya bisa diketahui oleh semua pihak.

Promosi Perpustakaan Sekolah

Membahas masalah promosi tidak bisa dipisahkan dari pemasaran, oleh karena
promosi itu sendiri merupakan salah satu unsur bauran pemasaran (marketing mix).
Keempat bauran pemasaran yang dimaksud adalah produk, harga, distribusi & lokasi, dan
promosi. Kotler (1984) menjabarkan pemasaran sebagai suatu organisasi pengelolaan yang menganut pandangan bahwa tugas/kunci organisasi adalah menetapkan kebutuhan dan
keinginan pasar yang menjadi sasaran dengan tujuan memberikan kepuasan yang
diinginkan. Pada bagian lain dinyatakan juga bahwa pemasaran adalah satu proses sosial dengan mana individu dan kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan
inginkan dengan menciptakan dan mempertukarkan produk dan nilai dengan individu dan
kelompok lainnya. Definisi pemasaran tersebut mengacu pada konsep pokok sebagai berikut : kebutuhan, keinginan dan permintaan; produk; nilai (value) dan kepuasan; pertukaran atau transaksi;pasar; serta pemasaran dan pemasar. Muchiyidin (1980:4) memberikan batasan promosi perpustakaan sebagai upaya yang esensial dari pihak perpustakaan, agar hakekat dan fungsi serta tujuan perpustakaan dapat memasyarakat bagi kepentingan para pemakainya. Sedangkan Mahardjo (1975:32) menjabarkan promosi perpustakaan sebagai usaha-usaha atau tindakan-tindakan yang dilakukan untuk memberi dorongan-dorongan, penggalakan atau bantuan memajukan

Perpustakaan Universitas Negeri Malang

perpustakaan. Wirawan (1982:2) mendiskripsikan promosi perpustakaan sebagai suatu
aktivitas untuk menarik dan meningkatkan penggunaan perpustakaan. Dari aspek
komunikasi Edsall sebagaimana dikutip Sukaesih (1995) memandang promosi sebagai
suatu bentuk komunikasi yang meliputi tiga aspek yaitu memberitahu (to inform),
mempengaruhi (to influence) dan membujuk/merayu (to persuade).
Aktivitas promosi perpustakaan sebenarnya merupakan perwujudan dari fungsi
informatif sehingga dengan adanya promosi diharapkan akan ada reaksi dari pemakai, baik aktual maupun potensial yang muncul dalam berbagai bentuk mulai dari tumbuhnya
kesadaran atau tahu akan keberadaan perpustakaan, sampai kepada tindakan untuk
memanfaatkannya. Hal tersebut sesuai dengan tujuan promosi perpustakaan yang dikemukakan oleh Bohar (1985:132), yaitu untuk merubah sikap dan pandangan
masyarakat terhadap perpustakaan dari yang tidak tahu atau acuh tak acuh, mejadi
memahami dan menyenangi perpustakaan serta ingin memanfaatkannya.
Secara rinci Muchydin (1980:4-5) menyebutkan tujuan perpustakaan, yaitu :
(a) mengenalkan perpustakaan kepada masyarakat;
(b) menanamkan pengertian tentang hakekat dan fungsi perpustakaan;
(c) menunjukkan tata cara penggunaan perpustakaan;
(d)menempatkan perpustakaan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat pemakai;
(e)memberikan bimbingan dan pengarahan dalam praktek pendayagunaan perpustakaan;
(f)meningkatkan pengertian dan kualitas pendayagunaan perpustakaan.

Untuk meningkatkan pemberdayaan perpustakaan sekolah, perlu dilakukan pengadaan
berbagai fasilitas dan sumberdaya sebagai unsur pendukung dalam memenuhi kebutuhan
pemakai. Diantaranya pengadaan berbagai jenis bahan pustaka, peralatan audio-visual serta perangkat keras (hardware) berupa komputer untuk CD Rom dan otomasi perpustakaan. Modernisasi fasilitas perpustakan perlu dilakukan sebab cara-cara atau metode konvensional sudah tidak lagi bisa mendukung dalam pengelolaan perpustakaan terutama dalam menghadapi ledakan informasi serta kebutuhan pemakai yang semakin meningkat dan kompleks. Beberapa strategi yang bisa digunakan dalam melaksanakan kegiatan promosi perpustakaan sekolah adalah :

1. Menerbitkan Buku Pedoman Perpustakaan Sekolah
Buku Pedoman Perpustakaan yang dimaksud berisi informasi tentang kegiatan perpustakaan, jenis layanan, prosedur, koleksi, peraturan dan lain-lain yang kerkaitan dengan aktivitas perpustakaan. Buku Pedoman Perpustakaan biasanya merupakan salah satu bab dari Buku Pedoman Sekolah yang bersangkutan, yang diterbitkan setiap tahun ajaran baru yang dibagikan kepada setiap siswa.
Penerbitan buku pedoman tersebut dimaksudkan agar semua siswa pada umumnya dan
khususnya siswa baru mengetahui esensi dan eksistensi perpustakaan sehingga timbul
minatnya untuk berkunjung ke perpustakaan yang pada akhirnya diharapkan dapat
memanfaatkan layanan perpustakaan.
2. Kontak Perorangan
Promosi secara kontak perorangan dilakukan melalui pertemuan langsung antara
perpustakaan dengan pemakai. Promosi dengan kontak perorangan dapat diatur sedemikian
rupa sehingga mendekati kebutuhan, minat dan pribadi pemakai. Bellardo dan Waldhart
(1981) mengemukakan bahwa penelitian mengenai efektifitas teknik-teknik promosi dan
komunikasi di bidang kepustakawanan & informasi telah membuktikan bahwa kontak
perorangan dari mulut ke mulut merupakan cara yang paling efektif untuk
menyebarluaskan informasi mengenai produk dan jasa perpustakaan dan dalam hal menarik
minat pemakai. Bahkan informasi dari mulut ke mulut ini ternyata lebih efektif dari pada pengiriman surat, brosur, pamflet dan sejenisnya. Kontak perorangan sebagai salah satu teknik promosi yang dilaksanakan di perpustakaan sekolah adalah dalam bentuk ceramah mengenai pendidikan pemakai yang dilaksanakan pada tahun ajaran baru, melalui kegiatan orientasi pendidikan atau pengenalan sekolah yang menitik beratkan pada orientasi perpustakaan sekolah. Materi yang disampaikan berupa pengenalan mengenai tugas, fungsi dan peranan perpustakaan sekolah, peraturan, jenis layanan, koleksi, fasilitas dan staf dengan sasaran agar siswa memahami bagaimana memanfaatkan perpustakaan.
3. Menyebarkan brosur
Penyebaran brosur kepada pemakai dimaksudkan agar apa yang ada di perpustakaan
sekolah diketahui oleh pemakai, sehingga dengan mengetahui keberadaan perpustakaan
sekolah diharapkan akan timbul minat untuk memanfaatkan sumberdaya perpustakaan.
Brosur tersebut berisi tentang kegiatan perpustakaan termasuk kekayaan yang ada
didalamnya.
4. Penataan Kondisi Fisik Perpustakaan (Atmospheric)
Kotler (1975) mengartikan atmospheric sebagai perancangan lingkungan organisasi
yang diperhitungkan sedemikian rupa, agar menimbulkan dampak kognitif dan/atau
emosional kepada pasar target, sehingga meningkatkan kepuasan pada waktu membeli atau
memanfaatkan produk atau jasa itu.
Penataan lingkungan perpustakaan dalam hal ini mencakup penataan interior dan
eksterior, termasuk di dalamnya fasilitas yang digunakan untuk menciptakan suasana yang kondusif sehingga pemakai yang datang ke perpustakaan merasa senang, tenang dan
nyaman. Untuk memberikan kegairahan sekaligus suasana yang segar, pada jam tertentu
dialunkan musik-musik lembut yang tidak mengganggu bahkan disukai oleh pemakai pada
saat belajar di perpustakaan.
5. Melaksanakan Kegiatan Pendidikan Pemakai
Pendidikan pemakai adalah kegiatan membimbing atau memberikan petunjuk kepada
pemakai dan calon pemakai agar mampu memanfaatkan sumberdaya yang ada di
perpustakaan. Tujuan pendidikan pemakai adalah : (a) meningkatkan keterampilan pemakai agar mampu memanfaatkan kemudahan dan sumberdaya perpustakaan secara mandiri (b)membekali pemakai dengan teknik yang memadai dan sesuai untuk menemukan informasi
dalam subyek tertentu; (c) meningkatkan pemanfaatan sumberdaya dan layanan
perpustakaan; (d) mempromosikan layanan perpustakaan; (e) menyiapkan pemakai agar
dapat mengantisipasi perkembangan IPTEK.

Dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan pemakai, biasanya menggunakan 2 (dua)
pendekatan, yaitu :
(1) Orientasi perpustakaan, yaitu pendidikan pemakai untuk
memperkenalkan perpustakaan secara umum kepada pemakai baru. Pendidikan ini meliputi
wisata perpustakaan dan/atau peragaan dengan pustaka pandang dengar mengenai fasilitas dan layanan perpustakaan
(2) Pengajaran perpustakaan, yaitu mendidik pemakai agar dapat
menggunakan sumber informasi yang tersedia di perpustakaan dan di tempat lain.
Dalam pelaksanaan kegiatan promosi, seringkali perpustakaan diperhadapkan dengan
berbagai kendala, diantaranya :
1. Perpustakaan kurang mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan.
Keterbatasan sumberdaya yang ada di perpustakaan menyebabkan perpustakaan kurang
mampu meningkatkan kuantitas dan kualitas layanan. Padahal kuantitas dan kualitas
layanan merupakan " produk " andalan dalam promosi perpustakaan. Keterbatasan
sumberdaya umumnya disebabkan minimnya anggaran pengembangan perpustakaan atau
pihak pimpinan sekolah tidak menempatkan pengembangan perpustakaan sebagai prioritas
program sekolah, sehingga anggaran yang disediakan untuk perpustakaan sangat minim dan tidak menentu. Disamping itu keterbatasan keterampilan dan pengetahuan dari staf perpustakaan yang ada kurang mendukung terciptanya profesionalisme dalam melaksanakan tugas-tugas kepustakawanan, sehingga berakibat layanan perpustakaan tidak bisa dilaksanakan secara optimal. Perlu diketahui bahwa sikap, keterampilan dan pengetahuan staf perpustakaan dalam layanan berdampak terhadap persepsi dan sikap dan tindakan pemakai dalam merespon keberadaan perpustakaan sekolah. Dari hasil survei memperlihatkan bahwa sukses tidaknya pelayanan perpustakaan dalam memenuhi kebutuhan pemakai banyak bergantung dari 3 faktor yang pada hakekatnya dapat diprosentasikan sebagai berikut : 5 % bergantung atas fasilitas, 20 % iakibatkan oleh koleksi/bahan pustaka yang ada dan 75% sebagai result
dari staf perpustakaan yang bersangkutan.
2. Lokasi kurang strategis dan gedung kurang representatif
Salah satu unsur yang menunjang keberhasilan perpustakaan adalah fasilitas gedung,
baik ditinjau dari segi luas, tata ruang, lokasi dan sebagainya. Pada beberapa perpustakaan seringkali gedung perpustakaan menempati lokasi yang tidak strategis dan gedungnya tidak representatif (seadanya) bahkan ada yang bergabung dengan unit kegiatan lain. Sehingga perpustakaan tidak memiliki daya tarik bagi masyarakat pemakainya dan cenderung sebagai pelengkap dari pendidikan formal.
3. Masyarakat akademis belum memandang secara benar terhadap tugas, fungsi dan
peranan perpustakaan sekolah. Hambatan dalam promosi perpustakaan bukan hanya dari pihak penyelenggara perpustakaan saja tetapi sebaliknya juga dari pihak pemakai. Meskipun untuk mendapatkan jasa layanan informasi tidak diperlukan banyak biaya bahkan ada yang tidak sama sekali, tetapi minat dari pemakai dalam hal ini pendidik masih kurang. Ini bisa disebabkan salah satunya dari sistem pendidikan yang diterapkan, apabila pendidik tidak pernah datang di perpustakaan dan tidak menganjurkan kepada peserta didik untuk menggunakan fasilitas yang disediakan perpustakaan, maka akibatnya peserta didik sepenuhnya akan bergantung pada materi yang diberikan oleh pendidik sehingga wawasan peserta didik sangat terbatas.
Dari kondisi tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat akademis belum memandang secara benar tugas, fungsi dan peranan perpustakaan sebagai pusat informasi yang menunjang proses pembelajaran.

Oleh sebab itu agar program promosi bisa berhasil, Lock (1977:378) menyarankan agar
dilakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Menyadari fungsi perpustakaan (dengan koleksinya) sebagai sarana komunikasi
masyarakat
2. Meyakinkan masyarakat bahwa sistem kepustakaannya terorganisir dan dana mencukupi;
3. Meyakinkan masyarakat bahwa staf terdiri dari berbagai macam profesi yang terorganisir
sebagai sebuah tim;
4. Melengkapi perpustakaan dengan gedung dan peralatan lain agar berguna bagi staf
5. Meyakinkan pengambil keputusan agar sadar terhadap kebutuhan dan tuntutan
perpustakaan.
Menurut Bellardo dan Waldhart (1977:12) ada dua klien utama perpustakaan, yaitu
penyandang dana (dalam hal ini sekolah) dan pemakai jasa perpustakaan sekolah. Dengan
demikian kegiatan promosi yang dilaksanakan hendaknya ditujukan kepada kedua klien
tersebut, disamping masyarakat lain di luar sekolah.

Beberapa upaya untuk mengatasi kendala-kendala yang dihadapi dalam promosi
perpustakaan sekolah.
1. Meyakinkan pimpinan sekolah tentang essensi perpustakaan sekolah.
Dalam hal ini pengelola perpustakaan perlu meyakinkan pimpinan sekolah sebagai
penyandang dana dan pengambil keputusan bahwa perpustakaan benar-benar merupakan
pusat kegiatan akademis sehingga perlu mendapat dukungan moral dan dana yang
memadai. Oleh sebab itu perpustakaan harus mampu mendemonstrasikan bahwa
sumberdaya yang ada di perpustakaan dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara efektif
dan efisien dalam menunjang proses pembelajaran. Dengan adanya dukungan moral dan
dana dari pimpinan sekolah, maka terbuka peluang bagi perpustakaan untuk (a)
membangun hubungan kerjasama dengan berbagai pihak baik di dalam maupun di luar
lingkungan sekolah, (b) merealisir program peningkatan kuantitas dan kualitas
perpustakaan; (c) merubah persepsi masyarakat pemakai untuk memandang secara benar
tugas, fungsi dan peranan perpustakaan.
2. Meningkatkan citra yang positif tentang perpustakaan
Untuk menanamkan pengertian yang positif terhadap essensi perpustakaan sebagai
pusat informasi, perlu ditunjang dengan : (a) ketersediaan koleksi yang lengkap dan sesuai
kebutuhan kurikulum dan pemakai yang ditata sedemikian rupa sehingga memudahkan
penelusuran (b) alat-alat bibliografis yang lengkap dan sistematis, (c) penciptaan iklim
suasana lingkungan perpustakaan yang kondusif (d) ketersediaan staf perpustakaan yang
profesional
3. Menempatkan promosi perpustakaan sebagai salah satu prioritas program
perpustakaan.
Dengan menempatkan promosi perpustakaan sebagai salah satu prioritas program
perpustakaan akan menjadikan kegiatan tersebut mendapat perhatian khusus terutama
dengan adanya dukungan dana, staf dan fasilitas yang lain. Oleh karena itu program
promosi perpustakaan harus dirancang terintegrasi dengan program sekolah secara umum.

Penutup

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dalam meningkatkan
pemberdayaan perpustakaan sekolah, perlu dilakukan promosi perpustakaan yang
diintegrasikan dengan program sekolah. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dibangun
kerjasama sinergis dengan berbagai pihak sehingga pelaksanaan promosi perpustakaan
diharapkan bisa berjalan dengan efektif. Disamping itu petugas perpustakaan secara
proaktif harus dapat meyakinkan semua komponen sekolah tentang pentingnya
perpustakaan sebagai penyedia informasi bagi proses pembelajaran, terutama kepada unsur pimpinan sekolah sehingga pengembangan perpustakaan sekolah dapat dijadikan prioritas program sekolah. Oleh sebab itu perpustakaan sekolah perlu dikelola secara benar dan profesional dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas sumberdaya internal sehingga upaya memenuhi kebutuhan pemakai dapat terwujud yang pada akhirnya pemakai
mendapat kepuasan

Strategi Pemasaran Jasa Perpustakaan

Pendahuluan

Istilah Perpustakaan telah memberi konotasi tentang adanya aktivitas peminjaman
dan pengembalian materi perpustakaan. Kebanyakan, apa yang dipinjamkan dikembalikan adalah berupa buku-bllku, sedarigkan materi perpustakaan yang lain seperti majalah, surat bakar, bentuk mikro, hanya boleh Jibaca di perpustakaan saja.
Perpustakaan dapat dikatakan sebagai suatu Jembaga yang membantu OJang-orang datang untuk memanfaatkan jasanya. Menurut pengertian ini, perpustakaan tidak dimaksudkan sebagai lembaga yang ingin mencapai tujuan laba, tetapi lebih mengutamakan pelayanan kepada masyarakat.

Walaupun perpustakaan sebagai organiƁasi yang "nirlaba" dalam hal melayani masyarakat pembaca atau pencari informasi, perpustakaan juga perlu menerapkan
falsafah dan prinsip-prinsip pemasaran yang modern agar dapat mencapai tujuan
organisasional dengan haik. Banyak buku-buku karya pakar bidang pemasaran baik
pemasaran untuk organisasi yang berorientasi laba maupun nirlaba, di aNaranya Kotler
(1991), Kotler dan Andreasen (1995), Kats (199]), Tjiptono (1995).
Pada makalah ini akan dicoba menerapkan teori atau konsep pemasaran tersebut
dalam ~masaran jasa perpustakaan.

Konsep Pemasaran

Pemasaran sebagai fungsi bisnis, mengidentifikasi kebutuhan dan tuntutan yang
belum terpenuhi, menentukan siapa peJanggan atau pengguna dari suatu produk atau
jasa (yang disebut dengan pasar target) yang dapat dilayani dengan sebaik-baiknya
oleh organisasi, menetapkan produk, jasa atau layanan dan program program untuk
melayani pasar-pasar tersebut, dan mengundang setiap orang dalam organisasi untuk
berfikir dan melayani pelanggan. Jadi suatu definisi praktis dari fungsi pemasaran
memasukan tiga segi : mengindentifikasi kebutuhan pembeli dan pembeli potensial
dalam pangsa pasar mereka; Memuaskan kebutuhan itu dengan menjual jasa atau
produk sesuai; membuat laba(Katz, 1991:1).

Tentu saja ada perbedaan dasar dalam fungsi pemasaran pada perusahaan (berorientasi laba) dan organisasi nirlaba. Perbedaan nyata terletak pada sumber dana dan dampaknya terhadap organisasi. Perusahaan memperoleh modal pertamanya dari investor atau pemodal. Jika perusahaan telah berjalan, dana operasional perusahaan terutama diperoleh dari hasil penjualan produk atau jasa yang dihasilkan oleh perusahaan itU.Dalam hal ini perusahaanhanya menghadapisatu unsurpokok yaitu konsumen. Jika produk atau jasa yang dihasilkan perusahaan dapat memuaskan konsumennya. maka transaksi akan terjadi dan perusahaan mempunyai dana untuk melanjutkan aktivitasnya.

Sebaliknya, organisasi nirlaba mempero1ch anggaran dari donor atau lembaga induk. Dengan anggaran yang diperolehnya itu, organisasi menghasilkan produk atau jasa yang kemudian dit~warkan kepada konsum~nnya. Berbeda dengan perusahaan,apabila produk dan jasa yang dihasilkau oleh organisasi nirlaba itlltemyata tidak sesuai dengan ebutuhan dan keinginan konsumen, pihak donor masih mungkin akan memberi dana lagi, apabila kalau pihak donor masih menganggap organisasi itu baik. Sebaliknya mungkinjuga terjadi, meskipun produk danjasa yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen. belum tentu menjamin bahwa anggaran dari donor untuk organisasi nirlaba itu akan ditingkatkan.

Konsekuensi dari perbedaan ini adalah bahwa ukuran keberhasilan perusahaan dan organisasi nirlaba berbeda. Perusahan yang pada dasamya berorientasi terhadap
laba, dianggap sukses jika berhasil meraup untung yang besar. Pada organisasi nirlaba, meskipun berhasil memperoieh dana yang lebih besar dari donor, mungkin saja gagal dalam memanfatkan sumber daya itu secara efektif dan efesiaen bagi pemenuhan
kebutuhan dan keinginan konsumen. Oleh karena itu, kemampuan organisasi nirlaba
dalam memperoleh sumberdaya tidak dapat dijadikan ukuran keberhasilan organisasi.
Keberhasilan organisasi nirlaba dengan demikian, harus diukur dari sejauh mana produk
dan jasa yang dihasilkan organisasi telah memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen
(Wirawan, 1994: 24, juga Kotler dan Andreasen, 1995:42 ff).

Bagaimana dengan perpustakaan?

Inti pokok dari penetapan dan identifikasi kelompok-kelompok sasaran (pasar target) yang akan dilayani, bukanlah pada pengenalan siapakah mereka saj<,1,tetapi yang utama adalah apa yang mereka butuhkan, inginkan dan harapkan. Apa yang dibutuhkan oleh mereka diharapkan dapat terwujud dengan dri-dri atau karakteritistik,.dari apa yang ditawarkan oleh perusahaan atau organisasi, terwujud pada ciri-ciri produk atau jasa yang dilayaninya. Oleh karena itu sebelum perusahaan merancang dan mewujudkan penawarannya, ia harus mempunyai informasi yang akurat dan mutahir mengenai manfaat apa yang dibutuhkan dan diharapkan oleh kelompok-kelompok pasar'Sasaran yang akan dilayani (Astuti,1994:59)

Bila hal tersebut dikaitkan dengan aktifitas pada layanan perpustakaan pada lembaga Perguruan TInggi, misalnya, maka target pasarnya sudahjelas. yaitu pengguna utamajasa layanan perpustakaan yang terdiri dari dosen maupun mahasiswa. Adapun
manfaat yang sangat mendasar yang dibuthkan dan diharapkan oleh pasar target adalah
ketersediaan informasi yang membantu usaha memperkaya pengetahuan dan teknologi.
berkembang pulalah kebutuhan terhadap sarana pendukungnya. Dcmikian pula terjadi
perubahan tuntutan dan kebutuhan akan jasa layanan perpustakaan. Setelah atau organisasi dapat mengidentifikasi kebutuhan mendasar dan keinginan yang spesifik sifatnya dari pasar target, langkah lanjut yang segera diambil adalah merancang konsep produk dan jasa pelayanan yang akan ditawarkan dan disajikan untuk mencukupi kebutuhan dan memberikan kepuasan.

Aktifitas menmcang konsep produk bukanlah merupakan tanggung jawab satu
bagian tertentu dalam organisasi saja, tetapi perlu adanya keterlibatan dan kerjasama
secara terpadu dann terkoordinir dari semua orang dalam organisasi. Hal ini berlaku
bagi perusahaan yang memprodusir produk berwujut maupun pada organisasi nirlaba.
Selanjutnya pembicaraan mengenai konsep produk diarahkan pada rancangan jasa
yaitu produk yang dipasarkan oleh perpustakaan yaitu informasi.
.
Padatingkatpertama,produkinformasidapatdidefinisikansebagaitechno-physi-
cal objects dirancang orang untuk menyatakan, menyimpan, menyampaikan danI atau
transfer komunikasi atau bentuk simbul informasi dari suatu sumber tertentu kepada
satu atau lebih sasaran target. Diantara techno-physical objects dan file, peta dan
gambar, rekaman suara dan gambar, lukisan dan artefak musium), juga produk
elektronik terbaru (seperti produk pangkalan data dan perangkat lunak komputer,
produk bebasis telekomunikasi),

Pada tingkat kedua, produk informasi termasuk di dalamnya semua yang mempunyai ciri tertentu berupa real-time events dirancang untuk menyatakan penyampaian dan transfer komunikasi atau simbul-simbul informasi. Comoh produk informasi semacam ini Uuga menunjukkan layanan informasi) termasuk didalamnya siaran berita berbagai frekuensi, antar muka pemakai dengan sistem terpasang, presentasi dengan nara sumber pada lokabarya.

Itu semua menurut Mwshowitz (1992) produk infonnasi dapat menjadi komoditi (infonnation commodity) dalam pengertian komeisiil apabila dapat dimiliki. punya
nilai dan dijual (TIamiyu, 1993:209).

Sebagai komoditi pada dasamya jasa memiliki perbedaan-pcrbedaan tertentu
dibandingkan dengan produk berwujud secara fisikoJasa memiliki karakteristik khusus
yang sangat mempengaruhl rancangan progr.ampemasarannya. Karakter jasa meliputi:

a. Tidakterujud.
Jasa tidak berwujud (intangible), tidak sepelti produk fisik,jasa tidak dapat dilihat,
dirasakan dan dipegang sebelum dibeli. Untuk memperkecil tingkat ketjdak pastian-
an (uncertainty), pembeli akan m~ncari tanda-tanda atau bukti-bukti dari kualitas jasa sebelum membelinya.

b. Tak dapat dipisahkan (inseparability).
Jasa diprodusir dan dikonsumsi pada saat yang bersamaan. TIdak seperti pada
barang fisik yang dibuat di pabrik, disimpan dan kemudian dijual, akhimya dikomsumsi.
Jasa yang disumbangkan atau dilakukan oleh seseorang, membuat orang tersebut
menjadi bagian daii jasa pclayanan tersebut. Keduanya baik penyaji maupuri klien
bersama-sama mempengaruhi hasil jasa. Dalam kasus jasa hiburan (intertaint) dan
jasa profesional para pembeli sangat memperhatikan siapa penyajianya.

c. Bervariasi(variability).
Jasa sangat variabel sipatnya, tergantung pada siapa, kapan dan dimanajasa disajikan.
Para pembeli jasa menyadari akan variabilitas yang tinggi dari jasa dan mereka akan
sering berbicara dengan orang lain sebelum memilih s~orang penyaji jasa

Pengantar

Perpustakaan pada dewasa ini telah berkembang sedemikian pesatnya. Perkembangan perpustakaan dalam beberapa dasawarsa ini telah banyak dipengaruhi oleh perkembangan TI. Perpustakaan sebagai salah satu “aktor” yang berperan dalam pengumpulan, pengolahan dan pendistribusian informasi mau tidak mau harus berhadapan dengan apa yang dinamakan TI ini. Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa tanpa adanya sentuhan TI, perpustakaan dianggap sebagai sebuah instutisi yang ketinggalan jaman, kuno dan tidak berkembang.
TI di perpustakaan sering menjadi tolak ukur kemajuan dan modernisasi dari sebuah perpustakaan. Hal ini tentu tidak bisa dipungkiri mengingat tuntutan masyarakat yang memang sudah “ngeh” dengan segala macam bentuk TI. Gejala dan permasalahan serta fenomena inilah yang membawa dampak kepada apa yang disebut dengan Layanan Perpustakaan Berbasis TI. Tentunya ini dengan harapan bahwa apa yang menjadi pertanyaan banyak orang mengenai sentuhan TI di perpustakaan sedikit terjawab melalui layanan berbasis TI ini.
Namun demikian, kiranya perlu ditelusur lebih jauh berbagai hal mengenai penerapan pelayanan perpustakaan yang berbasis TI ini.

Kepentingan Institusi VS Kepentingan Pengguna

Pengembangan TI di sebuah perpustakaan sebenarnya merupakan wujud dari berbagai kepentingan. Kepentingan ini yang mendorong perpustakaan untuk melakukan modernisasi pelayanan dan menerapkan TI dalam aktifitas kesehariannya. Tuntutan kepentingan-kepentingan yang sedemikian besar ini seakan menjadikan “cambuk” bagi perpustakaan untuk berbenah dan selalu berpikir untuk dapat memberikan yang terbaik melalui fasilitas TI ini.
Berdasarkan pengamatan, sebenarnya kepentingan ini secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua yakni kepentingan institusi dan kepentingan pengguna perpustakaan. Dalam kasus perpustakaan di lingkungan perguruan tinggi, institusi yang dimaksud adalah perpustakaan itu sendiri dan universitas sebagai lembaga yang menaungi perpustakaan. Sedangkan pengguna perpustakaan yang dimaksud adalah sivitas akademika di lingkungan perguruan tinggi yakni mahasiswa, dosen, peneliti dan karyawan. Perkembangan perpustakaan banyak dipengaruhi oleh visi dan misi yang di lembaga induknya. Sehingga apapun yang akan diterapkan dan dikembangkan oleh perpustakaan harus disesuaikan dengan tujuan organisasi atau institusi itu sendiri. Hanya terkadang apa yang menjadi kepentingan institusi sepertinya “belum berpihak” banyak kepada kepentingan pengguna. Belum lagi masalah prioritas, perpustakaan masih merupakan prioritas kesekian bagi lembaga induknya dalam hal pendanaan dan pengembangan.
Perkembangan perpustakaan dilihat dari kepentingan pengguna dirasakan belum menggembirakan. Masih banyak “tuntutan” pengguna yang belum dapat dipenuhi oleh perpustakaan, termasuk tersedianya akses layanan berbasis TI ini. Untuk itu perlu kiranya dipikirkan sebuah sinergitas yang mengakomodasi kedua kepentingan tersebut sehingga terjadi keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Perpustakaan, Universitas dan Pengguna perlu berjalan bersama untuk memikirkan sebuah perpustakaan yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan dapat memberikan pelayanan yang terbaik.
Implementasi TI dalam Pelayanan Perpustakaan
Teknologi dalam hal ini TI bukan merupakan hal yang murah. Untuk itu apabila perpustakaan ingin mengimplementasikan TI dalam layanan dan aktifitasnya perlu direncanakan secara matang. Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak ada kesia-siaan dalam perencanaan dan pengembangan yang berakibat pula pada pemborosan waktu, tenaga, pikiran dan keuangan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan dalam rangka penerapan TI pada perpustakaan, yakni:
 Dukungan Top Manajemen / Lembaga Induk
 Kesinambungan / Kontinuitas
 Perawatan dan Pemeliharaan
 Sumber Daya Manusia
 Infrastruktur Lainnya seperti Listrik, Ruang/Gedung, Furniture, Interior Design, Jaringan Komputer, dsbnya.
 Pengguna Perpustakaan seperti faktor kebutuhan, kenyamanan, pendidikan pengguna, kondisi pengguna, dll
Hal-hal tersebut diatas akan menentukan sejauh mana penerapan TI di perpustakaan khususnya di layanan perpustakaan dapat berjalan dengan baik.
Penerapan TI dalam bidang layanan perpustakaan ini dapat dilihat dari beberapa hal seperti:

a. Layanan Sirkulasi

Penerapan TI dalam bidang layanan sirkulasi dapat meliputi banyak hal diantaranya adalah layanan peminjaman dan pengembalian, statistik pengguna, administrasi keanggotaan, dll. Selain itu dapat juga dilakukan silang layan antar perpustakaan yang lebih mudah dilakukan apabila teknologi informasi sudah menjadi bagian dari layanan sirkulasi ini. Teknologi saat ini sudah memungkinkan adanya self-services dalam layanan sirkulasi melalui fasilitas barcoding dan RFID (Radio Frequency Identification). Penerapan teknologi komunikasipun sudah mulai digunakan seperti penggunaan SMS, Faksimili dan Internet.

b. Layanan Referensi & Hasil-hasil Penelitian

Penerapan TI dalam layanan referensi dan hasil-hasil penelitian dapat dilihat dari tersedianya akses untuk menelusuri sumber-sumber referensi elektronik / digital dan bahan pustaka lainnya melalui kamus elektronik, direktori elektronik, peta elektronik, hasil penelitian dalam bentuk digital, dan lain-lain.

c. Layanan Journal / Majalah / Berkala

Pengguna layanan journal, majalah, berkala akan sangat terbantu apabila perpustakaan mampu menyediakan kemudahan dalam akses ke dalam journal-journal elektronik, baik itu yang diakses dari database lokal, global maupun yang tersedia dalam format Compact Disk dan Disket. Bahkan silang layan dan layanan penelusuran informasipun bisa dimanfaatkan oleh pengguna dengan bantuan teknologi informasi seperti internet.

d. Layanan Multimedia / Audio-Visual

Layanan multimedia / audio-visual yang dulu lebih dikenal sebagai layanan “non book material” adalah layanan yang secara langsung bersentuhan dengan TI. Pada layanan ini pengguna dapat memanfaatkan teknologi informasi dalam bentuk Kaset Video, Kaset Audio, MicroFilm, MicroFische, Compact Disk, Laser Disk, DVD, Home Movie, Home Theatre, dll. Layanan ini juga memungkinkan adanya media interaktif yang dapat dimanfaatkan pengguna untuk melakukan pembelajaran, dsbnya. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam layanan perpustakaan adalah pengguna yang mempunyai keterbatasan, seperti penglihatan yang kurang, buta, pendengaran yang kurang dan ketidakmampuan lainnya. Layanan Multimedia / Audio-Visual memungkinkan perpustakaan dapat memberikan pelayanan kepada para pengguna dengan kriteria ini. Sebagai contoh dari bentuk penerapan teknologi untuk itu adalah Audible E-books, Digital Audio Books, InfoEyes (Virtual Reference), Braille, dsbnya.

e. Layanan Internet & Computer Station

Internet saat ini menjadi “bintang” dalam TI. Orang sudah tidak asing lagi untuk menggunakan internet dalam kehidupannya. Untuk itu mau tidak mau perpustakaanpun harus dapat memberikan layanan melalui media ini. Melalui media web perpustakaan memberikan informasi dan layanan kepada penggunanya. Selain itu perpustakaan juga dapat menyediakan akses internet baik menggunakan computer station maupun WIFI / Access Point yang dapat digunakan pengguna sebagai bagian dari layanan yang diberikan oleh perpustakaan. Pustakawan dan perpustakaan juga bisa menggunakan fasiltas web-conferencing untuk memberikan layanan secara online kepada pengguna perpustakaan. Web-Conferencing ini dapat juga dimanfaatkan oleh bagian layanan informasi dan referensi. OPAC atau Online Catalog merupakan bagian penting dalam sebuah perpustakaan, untuk itu perpustakaan perlu menyediakan akses yang lebih luas baik itu melalui jaringan lokal, intranet maupun internet.

f. Keamanan

Teknologi informasi juga dapat digunakan sebagai alat untuk memberikan kenyamanan dan keamanan dalam perpustakaan. Melalui fasilitas semacam gate keeper, security gate, CCTV dan lain sebagainya, perpustakaan dapat meningkatkan keamanan dalam perpustakaan dari tangan-tangan jahil yang tidak asing sering terjadi dimanapun.

g. Pengadaan

Bagian Pengadaan juga sangat terbantu dengan adanya teknologi informasi ini. Selain dapat menggunakan TI untuk melakukan penelusuran koleksi-koleksi perpustakaan yang dibutuhkan, bagian ini juga dapat memanfaatkannya untuk menampung berbagai ide dan usulan kebutuhan perpustakaan oleh pengguna. Kerjasama pengadaan juga lebih mudah dilakukan dengan adanya TI ini.
Implementasi TI dalam layanan perpustakaan dari waktu ke waktu akan terus berkembang baik itu untuk keperluan automasi perpustakaan maupun penyediaan media / bahan pustaka berbasis TI ini.

Perpustakaan “Hybrid”

Sebetulnya ketika orang berbicara mengenai penerapan TI dalam perpustakaan atau khususnya layanan perpustakaan orang akan berbicara juga mengenai transformasi perpustakaan tradisional menuju perpustakaan digital, perpustakaan elektronik, atau perpustakaan virtual. Namun berdasarkan pengamatan penulis dari sekian banyak konsep yang berkembang tersebut sebetulnya saat ini konsep yang berkembang cukup pas dan mungkin dalam beberapa dasawarsa ke depan masih relevan adalah apa yang dinamakan dengan Perpustakaan Hybrid. Pengertian perpustakaan Hybrid ini sendiri adalah seperti yang dikemukakan oleh Angelina Hutton dalam the Hybrid Library.
“A hybrid library is a library where 'new' electronic information resources and 'traditional' hardcopy resources co-exist and are brought together in an integrated information service, accessed via electronic gateways available both on-site, like a traditional library, and remotely via the Internet or local computer networks.” (http://hylife.unn.ac.uk/toolkit/The_hybrid_library.html diakses 19 Oktober 2005)
Atau seperti yang disampaikan Stephen Pinfiel:
“A hybrid library is not just a traditional library (only containing paper-based resources) or just a virtual library (only containing electronic resources), but somewhere between the two. It is a library which brings together a range of different information sources, printed and electronic, local and remote, in a seamless way.”
(http://www.ariadne.ac.uk/issue18/main/ diakses tanggal 19 Oktober 2005)
Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa layanan perpustakaan berbasis TI sangat dekat dengan konsep perpustakaan Hybrid ini. Walaupun sebetulnya perpustakaan hybrid ini adalah merupakan bentuk peralihan dari perpustakaan tradisional menuju perpustakaan digital / virtual. Jadi tidak ada salahnya apabila kita berbicara mengenai layanan berbasis TI kita juga perlu mempelajari masalah perpustakaan Hybrid ini.

Penutup

Dari kajian singkat di atas dapat dilihat bahwa layanan perpustakaan berbasis TI dapat diterapkan di semua bagian perpustakaan. Itu semua tergantung bagaimana dan apa kebutuhan pengguna dan juga perpustakaan. Proses pengembangan perpustakaan berbasis TI ini harus memperhatikan kepentingan pengguna dan juga kepentingan institusi / organisasi induk yang menaunginya. Tak kalah pentingnya adalah faktor kemampuan finansial dari perpustakaan / lembaga induk untuk menerapkan TI dalam layanan perpustakaan ini. Karena TI memang bukan barang “murah” dan perlu investasi yang cukup “mahal”. Namun demikian, penggunaan TI dalam bidang layanan perpustakaan ini memang sudah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan lagi, sehingga perpustakaan perlu melakukan kajian prioritas kebutuhan TI untuk perpustakaannya.

;;
Olah Data Statistik
(024) 74000680
 
 
 
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA